Rabu, 19 Maret 2008

Mengenal Teknologi Ballapress di TPST Bojong

TPA Bantar Gebang merupakan sanitary landfill, yaitu penimbunan sampah dengan lapisan tanah. Metode ini berakhir dengan pencemaran air tanah dan pencemaran udara (bau). Pencemaran keduanya, menurut peneliti dan ahli lingkungan BPPT, Henky Sutanto, karena tanah tidak dilapisi dengan lapisan yang kedap air. Sedangkan bau diakibatkan proses pembusukan sampah bocor ke udara.

Dua pencemaran yang terjadi di Zona 1 TPA Bantar Gebang, diyakini Direktur Utama PT Wira Guna Sejahtera Sofyan, tidak akan terjadi di TPST Bojong. Di sini, sampah diolah dengan menerapkan sistem daur ulang, kompos, dan pembakaran. Sisa sampah yang tak terolah akan diamankan teknologi bala press. Cara kerjanya: truk menuangkan
sampah dari Jakarta ke bak penampungan di gudang tertutup, lalu mesin memisahkan sampah basah organik dari sampah kering non-organik.

Sampah organik diolah menjadi kompos. Sampah non-organik masuk ke konveyor (ban berjalan). Saat ban bergerak, pekerja memilah sampah berharga untuk didaur ulang. Sampah yang bisa terbakar masuk ke mesin pembakar bertemperatur tinggi (incinerator). Sisa yang tak mungkin diolah baru masuk ke mesin bala press.

Nah, mesin bala press akan memadatkan dan mengemas sampah dalam bentuk bal-bal bulat. Bal sampah dibungkus plastik film berwarna putih yang tahan lama, kedap udara, dan tak tembus air. Bulatan berdiameter 1,2 meter itu lalu ditimbun dan ditutup tanah. Dalam waktu 25 tahun, bukit sampah bisa ditanami dan dimanfaatkan
sebagai hutan buatan atau arena perkemahan.

Di Bojong sudah tersedia dua incenerator besar, yang akan mampu membakar sampah sebanyak 1.000 ton perhari, dari hasil pembakaran ini akan menghasilkan pupuk kompos, sedangkan sampah lainnya akan diolah dibungkus dengan mesin balla pres. Prinsipnya tidak ada sampah yang tersisa ataupun menumpuk, sehingga tidak akan menebarkan bau.

PROSES PENGEPRESAN BALA

Teknologi utama pemrosesan sampah dengan cara ini adalah mesin yang berfungsi memadatkan dan membentuk sampah menjadi bola (bal). BALA adalah nama perusahaan Swedia, yang pabriknya berlokasi di Nossebro, dekat Gothenburg. Perusahaan ini berpengalaman 15 tahun dalam merancang dan membuat sistem untuk menangani, menyimpan, dan membuang sampah padat.

1. Material dimasukkan ke dalam ruang pembentukan bola sampah sampai dicapai tekanan penuh.

2. Untuk mempertahankan bentuk bola yang ada, jaring atau plastik film dimasukkan ke dalam ruang pembentukan bola.

3. Ruang pembentukan bola terbuka dan bola sampah yang ada dipindahkan ke unit pembungkusan.

4. Sementara bola sampah dibungkus, lengan pembentuk bola
kembali ke posisi awal, siap untuk menjalankan proses baru.

5. Bola-bola yang dibungkus kini dimasukkan ke konveyor. Seluruh proses berakhir dalam 2-3 menit dan sepenuhnya dijalankan komputer.

Sumber : Tempo Interaktif

Menjadi Pemulung

Berbagai kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah ternyata dalam jangka pendek mengakibatkan berbagai dampak yang dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu beban. Selain itu usaha di berbagai sektor ekonomi menunjukkan kecenderungan semakin tidak kondusif, sehingga terjadi penurunan kesempatan kerja dan meningkatkan jumlah pengangguran. Realitas tersebut sebagai salah satu faktor penyebab semakin besarnya jumlah masyarakat miskin. Di sisi lain tersedia potensi untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat.

Salah satu potensi ekonomi yang saat ini belum tersentuh oleh berbagai kebijakan maupun program kegiatan yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah pengumpulan barang bekas atau rongsokan berbentuk plastik, logam, kertas yang telah dianggap sampah oleh orang yang membuangnya. Orang yang melakukan pengumpulan barang bekas atau sampah dan kemudian dijual disebut pemulung. Keberadaan pemulung telah memberikan konstribusi yang cukup berarti dalam menyelesaikan masalah sampah dan mampu memberikan percepatan roda perekonomian di Kota Bandung.

Pemulung merupakan alternatif profesi baru oleh sebagian masyarakat yang merasa tersingkirkan oleh berbagai kebijakan pemerintah dan sektor ekonomi lainnya. Namun demikian keberadaan pemulung oleh pemerintah hingga saat ini masih dipandang sebagai profesi yang tidak memberikan makna terhadap proses pembangunan, bahkan sebagian masyarakat menganggap bahwa pemulung adalah pihak yang perlu dicurigai keberadaannya.

Tersembul dalam pemikiran kita, bahwa kehadiran pemulung semestinya memberikan inspirasi bagi Kang Dada untuk mendesak PD Kebersihan melakukan diversivikasi usaha yang serupa dengan pemulung namun dikelola secara professional !!. Setidaknya ada dua manfaat yang diperoleh dengan dibukanya unit usaha pemulung ini, pertama pasti menguntungkan, kedua memenuhi keinginan masyarakat agar Kota Bandung terbebas dari banjir sampah, tanpa mengandalkan sumber dana yang berasal dari iuran warga.

Fakta bahwa profesi pemulung memberikan konstribusi pada pendapatan keluarga, tengok saja pemilik lapak-lapak penampungan barang-barang yang berasal dari tempat sampah di sepanjang Jalan Sukarno-Hatta Bypass, Jl. Suci, Cibiru…..dan masih banyak lagi !

Sumber : Bandung Intensif Care Unit

Anak Jalanan Bandung Mengkhawatirkan

Kondisi ekonomi saat ini telah banyak menimbulkan permasalahan sosial, yang menggejala secara simultan di berbagai kota-kota di Indonesia, termasuk di kota Bandung. Salah satu permasalahan sosial tersebut ditandai dengan adanya fenomena semakin maraknya pengamen-pengamen jalanan dan pedagang asongan di setiap perempatan jalan. Kehadiran dan keberadaan mereka diakui banyak kalangan sudah semakin tidak terkontrol, dan menimbulkan berbagai dampak negatif yang mau tidak mau juga dirasakan oleh masyarakat luas. Tengok dan rasakan tatkala kita berhenti di persimpangan jalan . Anak-anak mondar mandir dengan berbagai tingkah lakunya, membuat kita terenyuh dan sedih , ternyata masih banyak anak-anak bangsa kita yang hidupnya penuh dengan ketidakpastian masa depan.

Apa yang menjadi titik tolak permasalahan pengamen jalanan dan pedagang asongan ini adalah adanya peningkatan secara kuantitas yang bersifat sporadis, serta lambannya penanganan dan penanggulangan yang seharusnya dilakukan. Padahal dengan membiarkan menjamurnya kehidupan jalanan seperti ini, berarti kita harus menerima kenyataan yang cukup riskan : menumbuhkan benih-benih premanisme, terganggunya keonaran dan kenyaman pemakai jalan raya, terbengkalainya pendidikan anak-anak tersebut, mengundang pola urbanisasi yang tinggi, serta mendorong tindakan-tindakan kriminal di jalan raya.

Apabila dikaji lebih mendalam, peningkatan jumlah anak-anak jalanan diksebabkan oleh “daya tarik” di jalan raya. Artinya mereka sudah memiliki pemikiran, bahwa jalan raya adalah lahan kehidupan mereka. “Daya tarik” dan pola pikir yang terbentuk, serta belum terpenuhinya program-program penanggulangan dalam mengatasi anak-anak jalanan, menjadi semacam katalisator dalam peningkatan anak-anak jalanan secara kuantitas.

Hal yang paling penting dalam menaggulangi permasalahan anak-anak jalanan ini adalah adanya pengalihan profesi mereka, dari profesi-profesi liar di jalanan pada profesi yang lebih terorganisir (Organized Placement). Melalui pengalihan profesi ini diharapkan jumlah mereka dapat berkurang secara bertahap.

Berpijak dari persoalan dan kondisi yang ada, setidaknya ada beberapa faktor yang mesti dicermati :

Pertama, keberadaan anak-anak jalanan tersebut sudah dalam suatu format untuk mencari penghidupan (baca : uang) di jalanan sehingga mereka mempunyai anggapan bahwa uang akan dengan mudah mereka dapatkan di jalanan.

Kedua, sifat kehadiran dan keberadaan mereka dijalan sangat tidak terpola (unorganized) yang diikuti oleh terbentuknya profesi-profesi liar yang dapat menimbulkan dampak –dampak yang negatif.

Ketiga, belum adanya program yang terarah dan konkret dalam menanggulanginya. Program tersebut harus bersifat permanen, artinya mereka harus dialih profesikan secara terorganisir (organized placement), dengan menyediakan lapangan kerja baru agar mereka tidak tertarik untuk kembali ke jalanan. Hal ini sangat penting agar tidak terbentuk proses internalisasi profesi liar dan kehidupan jalanan dari anak-anak tersebut.

Keempat, adanya ikatan secara psikografis antara anak-anak jalanan dengan jalan raya, sehingga tidak mudah untuk memisahkan begitu saja ikatan tersebut. Perlu adanya semacam program yang masih memberikan keleluasaan bagi mereka melalui aktivitas yang bernuansa “jalanan”.

Kelima, belum terbentuknya “good will” dari semua unsur untuk mengatasi permasalahan pada tingkat yang lebih riil. Artinya dalam menanggulangi persoalan anak-anak jalanan harus ada kemauan yang kuat dari semua pihak dan masyarakat luas, untuk berpartisipasi dalam pelaksanaannya.

Semoga kelima factor yang perlu dicermati tersebut memberikan inspirasi bagi teman-teman yang peduli pada anak jalanan untuk diterjemahkan dalam bentuk program riil yang aplikatif di lapangan.

Sumber : Bandung Intensif Care Unit

Anak Jalanan Bandung Ditertibkan

Pemerintah Kota Bandung akan memembersihkan beberapa ruas jalan dan kawasan yang menjadi etalase Kota Kembang dari aktivitas anak jalanan.

"Etalase Kota Bandung terutama Jalan Junjunan dan tujuh titik di Kota Bandung menjadi prioritas pembersihan anak jalanan," kata Herry Nurhayat, Kepala Dinas Sosial Kota Bandung, di Bandung, Rabu (5/3).

Ia menyebutkan, operasi penertiban anak jalanan, pengemis, pengamen dan preman yang dilakukan dalam beberapa hari terakhir ini diprioritaskan di kawasan etalase Kota Bandung itu. Termasuk dibebaskan dari pedagang kaki lima.

"Tujuh titik di Kota Bandung telah dilakukan penertiban. Meski susahnya bukan main, tapi itu harus dilakukan demi Bandung ke depan," katanya.

Terkait penertiban anak jalanan, pengemis dan preman di Kota Bandung, diakui oleh Herry Nurhayat belum memiliki formula yang efektif.

Penertiban berupa operasi oleh jajaran Satpol PP Kota Bandung saat ini masih sebatas pembinaan kepada mereka agar tidak turun lagi ke jalanan.

"Kota Bandung belum memiliki panti sosial untuk pembinaan. Mereka yang terkena razia hanya dikumpulkan dan diberi pembinaan. Rata-rata mereka tidak jelas kependudukannya, tak punya KTP baik di Bandung maupun dari daerah asalnya," kata Herry.

Ia mengakui, penertiban saat ini belum menyentuh 'broker' para anak jalanan. Herry yakin bahwa keberadaan anak jalanan itu memiliki orang menjadi penanggung jawab mereka.

"Brokernya belum bisa tersentuh. Mereka tutup mulut saat dimintai jadi diri penangung jawab mereka," ucapnya.

Herry menyebutkan, penertiban anak jalanan, pengemis, dan preman itu menjadi beban berat Dinas Sosial Kota Bandung yang baru diresmikan dua bulan.[*/R2]

Sumber : Inilah.com

Kompos, Salah Satu Jalan Keluar Problem Sampah

Sampah rumah tangga, menyumbang tidak sedikit dari sekitar 6000 ton total produksi sampah per hari di ibukota Jakarta. Jika setiap rumah mampu mengelola sampahnya dengan baik, akan sangat membantu mengatasi problem sampah di Jakarta. Caranya?

Peneliti dan ahli lingkungan Badan Pengkajian dan Pengembangan Tekhnologi (BPPT) Henky Sutanto mengatakan sebenarnya sampah rumah tangga bisa diubah menjadi kompos yang berguna untuk tumbuh-tumbuhan di pekarangan rumah sendiri.

Sampah basah (organik) bekas makanan-atau minuman sehari-hari dipisahkan dari sampah kering (anorganik) seperti kaleng, plastik, kertas. Sampah basah itu kemudian ditumpuk dalam sebuah lubang kecil di pekarangan rumah. Dalam jangka waktu tertentu bagian paling bawah dalam tumpukan tersebut bisa diangkat kemudian ditebarkan ke tanaman sebagai pupuk kompos.

Pengolahan sampah menjadi kompos, yang bisa dimanfaatkan memperbaiki struktur tanah, untuk meningkatkan permeabilitas tanah, dan dapat mengurangi ketergantungan pada pemakaian pupuk mineral (anorganik) seperti urea. Selain mahal, urea juga dikhawatirkan menambah tingkat polusi tanah. Ada juga cara lain untuk mengurangi volume sampah. Dengan cara dibakar. Tetapi pembakaran sampah menghasilkan dioksin, yaitu ratusan jenis senyawa kimia berbahaya seperti CDD (chlorinated dibenzo-p-dioxin), CDF (chlorinated dibenzo furan), atau PCB (poly chlorinated biphenyl).

Jika senyawa yang berstruktur sangat stabil itu hanya dapat larut dalam lemak dan tidak dapat terurai ini bocor ke udara dan sampai kemudian dihirup oleh manusia maupun hewan melalui udara. Dioksin akan mengendap dalam tubuh, yang pada kadar tertentu dapat mengakibatkan kanker.

Lalu, bagaimana dengan rumah dengan pekarangan yang sempit ? Misalnya di kompleks perumahan. Menurut Henky hal yang serupa bisa juga dilakukan dalam lingkungan kompleks. Sampah dari masing-masing rumah dikumpulkan dalam satu lokasi di dalam kompleks, yang dikhususkan menjadi Tempat Pembuangan Sampah (TPS). Sampah kering dan sampah basah dipisahkan. Sampah basah kemudian ditumpuk. Dalam jangka waktu dua bulan, akan menjadi kompos. Kompos itu, bisa dibagikan ke setiap rumah yang membutuhkan pengganti pupuk untuk tanaman. Dengan begitu, persoalan samapah di lingkungan sekitar bisa teratasi secara kolektif.

Sumber : Tempo Interaktif

Sabtu, 15 Maret 2008

Menyulap Sampah Jadi Rupiah

Bayangkanlah satu masa nan indah. Saat Jakarta (dan kota-kota besar lainnya) tak lagi butuh truk pengangkut sampah dan tempat khusus untuk menimbun limbah. Maklum, semua sampah habis disulap jadi rupiah, hasil berdagang pupuk, kertas, plastik, serta batako daur ulang. Ekonomi rakyat terangkat, bau tak sedap pun lenyap. Alangkah indahnya ....

Sah-sah saja menyebut bayangan tadi sebagai angan-angan. La iya, mana mungkin sampah Jakarta bisa dibikin nihil, wong baunya ada di mana-mana kok. Tapi, buat para peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), impian tadi bukannya tak mungkin menjadi kenyataan. "Boleh dong, kita punya gambaran masa depan yang lebih menyenangkan," ujar Ir. Bambang Heruhadi dari Direktorat Teknologi Lingkungan, Teknologi Pengelolaan Sampah dan Limbah Padat BPPT.

Bambang dan konco-konconya memang sedang bangga-bangganya pada pilot project mereka yang diberi nama sandi "Zero Waste Skala Kawasan" (ZWSK). Karena kalau sukses, mereka berpeluang membebaskan Jakarta dan kota-kota besar lainnya dari belenggu limbah. Konsepnya sudah dipraktikkan sejak awal tahun 2001 di daerah Rawasari, Jakarta Pusat. "Dan berjalan sangat baik, hingga banyak pemda kota yang melirik," ujar Bambang bernada girang.

Pembuang sampah produktif

Omong-omong, seberapa genting sih soal sampah ini, sampai-sampai BPPT bersusah payah bikin konsep zero waste alias nihil sampah? Apalagi selain BPPT, sebuah perusahaan nasional, PT Biotama Recovery Indonesia (BRI) juga mencanangkan pembuatan pabrik pengolahan pupuk dari sampah organik senilai Rp 100 miliar, Juli 2001 ini. Melihat besaran investasinya, pengolahan sampah satu ini pasti versi konglomerat.

Kabarnya, pabrik yang berlokasi di Sunter, Jakarta Utara, itu rencananya bakal mengolah ribuan ton sampah organik Jakarta per hari. Cuma, beda dengan BPPT yang menyelipkan misi kerakyatan, BRI murni mengusung motif bisnis. "Kami mengincar pasar ekspor. Kalau dilihat, pasar pupuk organik dunia mengalami pertumbuhan antara 10 - 20% per tahun," tegas Ir. I.M. Eddy Sutrisno, Presdir BRI, saat berpresentasi di sebuah seminar pengolahan sampah, April 2001 lalu.

Menanggapi rencana BRI, Bambang Heruhadi cuma tersenyum. Sambil tetap senyum, dia menyodorkan data statistik yang barangkali cukup membuat kening Anda berkerut, namun langsung memahami mengapa soal sampah ini jadi begitu menarik. Data itu menunjukkan betapa produktifnya warga kota besar di Indonesia dalam memproduksi limbah. Rata-rata per orang mencapai 2,5 - 3 l per hari.

Paling ribet, tentu saja Jakarta, yang jumlah penduduknya selangit. Versi Kepala Sub-Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Ir. Chaerul Mukti, total sampah yang disumbang penduduk DKI Jakarta rata-rata 26.000-an m3 atau sekitar 6.500-an ton per hari. Dari jumlah itu, "Yang terangkut sarana transportasi hanya sekitar 21.000-an m3 atau 80% saja," tutur Chaerul. Sisanya, dikanibal masyarakat tempat sampah berasal.

Sedangkan menurut jenisnya, barang buangan itu bisa diklasifikasi atas sampah organik (basah, sekitar 65%), semisal dedaunan. Selebihnya, sampah non-organik (kering, sekitar 35%), yang terdiri atas plastik, kaca, kayu. Tak tanggung-tanggung, untuk mengurusi barang terbuang ini, Pemda DKI rela merogoh kocek hingga Rp 100 miliar per tahun, sementara pemasukannya nol besar. Makin banyak sampahnya, tentu saja, makin besar pasak dari tiang. Lama-lama, ya, bikin pusing juga.

Ini bisa terjadi karena pemda belum serius memikirkan sistem penanganan sampah terpadu, terutama yang bermuara pada proses daur ulang. Selama ini, olah sampah versi pemda berhenti pada proses penampungan di tempat pembuangan sementara (TPS), kemudian menimbunnya di tempat pembuangan akhir (TPA). Padahal, lahan TPA di ibukota makin lama kian langka. TPA terbesar saat ini, di Bantar Gebang, Jakarta Timur, terasa makin sempit dengan bertambahnya volume limbah. Belum lagi protes penduduk sekitar yang merasa dicemari bau tak sedap.

Dari warga, untuk warga

Nah, kata Bambang Heruhadi, kalau konsep kuno seperti ini terus dipertahankan, di masa depan, Indonesia bakal diterpa banyak masalah. Pasalnya, penambahan sarana dan prasarana pengelolaan limbah tidak secepat pertambahan timbunan sampah yang harus ditangani.

Tahun 1986 misalnya, sampah Jakarta "masih" 18.000 m3 per hari. Namun, seiring pertambahan penduduk, jumlahnya melonjak jadi 21.000 m3 per hari pada 1996. Saat ini, kabarnya sudah mentok 23.000 m3 per hari. Sebuah penambahan yang sangat signifikan. "Selain kesulitan mencari lahan murah, potensi pencemaran lingkungan mulai membahayakan. Polusi baunya itu, lo," terang Bambang.

Untuk menebas hambatan-hambatan itulah, proyek percontohan zero waste diluncurkan. Paling terasa manfaatnya di sektor angkutan. Beda dengan cara konvensional yang harus memakai truk untuk membawa sampah ke TPA, ZWSK justru memfokuskan kegiatannya di lingkungan tempat kotoran dihasilkan. Istilah beken-nya, "Dari warga, untuk warga." Itu sebabnya, nama programnya diembel-embeli skala lingkungan.

Alhasil, biaya transportasi terpangkas hingga 0%. Lumayan 'kan, bisa menghemat ratusan juta rupiah, baik untuk pembelian truk maupun maintenance-nya. Sebagai gantinya, limbah dibawa langsung ke lokasi ZWSK oleh para "kolektor", pakai gerobak. "Agar aman buat lingkungan, kotoran memang harus ditangani langsung di lokasi terdekat dengan sumbernya," tegas Bambang, yang pernah menimba ilmu di Jepang.

Jadi, sampah produksi Pondok Indah (PI) misalnya, mesti didaur ulang di PI juga, bukan di Kebayoran Lama atau Cengkareng. Kalau skenario ini berjalan lancar, tentu saja pemda bisa mengucap good bye pada TPA. "Sedangkan TPS bisa dimanfaatkan sebagai calon lokasi ZWSK," imbuh Ir. Sri Bebassari, M.Si., juga peneliti BPPT.

Memperalat cacing

Selain irit ongkos mondar-mandir, cara ini juga memungkinkan berlangsungnya proses daur ulang terpadu alias satu atap. Kerjanya mirip samsat, karena beragam proses, seperti mengubah sampah organik jadi pupuk kompos maupun mendayagunakan kembali kertas dan plastik bekas, bisa dilakukan di tempat yang sama secara berbarengan.

Seperti bisa dilihat dalam pilot project Rawasari, sampah yang dikumpulkan dari warga langsung dipilah-pilah berdasarkan bahan. Ada pos untuk menampung sampah organik, (terbanyak, bisa lebih dari 60%), kertas, plastik, logam, botol. Tahap ini disebut fase praproses atau persiapan.

Kemudian dilanjutkan dengan fase pengolahan. Sampah organik diolah jadi pupuk (kompos) dengan memanfaatkan "reaktor cacing". Binatang kecil ini memang dikenal sebagai penyantap sampah yang rakus, "Lewat proses vermikasi, cacing diperalat untuk menghasilkan kompos," ujar Bambang.

Pada saat bersamaan, dilakukan pengolahan bahan-bahan lainnya menjadi produk daur ulang. Sampah yang tak bisa diolah kembali, seperti botol dan kaca, dikumpulkan untuk diolah sesuai keperluan. Sementara sisa limbah (yang tak mungkin lagi dijadikan komoditas dagang) bakal diberangus di fase terakhir, yakni pembakaran tuntas, tas, tasss ....

Dari hasil penelitian BPPT, setiap 10 m3 (2 ton) sampah berpotensi menghasilkan pupuk kompos atau vermikompos sekitar 0,4 ton per hari atau sekitar 12 ton per bulan. Berikut bahan daur ulang sekitar 0,28 ton/hari atau 84 ton per bulan, yang terdiri atas kertas daur ulang, bijih plastik, logam, dan bahan konstruksi (bata, batako). Ada juga abu sampah sisa pembakaran, biasanya untuk campuran kompos.

Kalau mau menghasilkan out put lebih besar, kapasitas pengolahan harus ditingkatkan, sekaligus butuh lahan lebih besar. Berdasarkan perhitungan, lahan seluas 400 m2 dapat memproses 10 hingga 20 m3 sampah per hari. Dengan beragam efisiensi, sebenarnya kapasitas bisa saja melampaui 20 m3. "Ini tantangan buat kita," tegas Bambang.

Tak perlu teknologi canggih

Yang menarik, aktivitas mengenolkan limbah ini tidak memerlukan teknologi canggih. BPPT sengaja memasyarakatkan alat-alat sederhana agar mudah dioperasikan awam. Untuk mengubah sampah organik menjadi kompos, misalnya, hanya diperlukan alat pencacah untuk memperkecil ukuran sampah, sejenis blender besar untuk mengolah sampah tertentu jadi makanan cacing, serta rak untuk proses vermikasi dan menyimpan sampah yang telah dikemas.

Sedangkan untuk mendaur ulang kertas, plastik, dan bahan-bahan daur ulang lainnya, ada blender yang bertugas melumat sampah-sampah tadi jadi bubur. Baru kemudian "dicetak" menjadi kertas, bijih plastik, serta bahan konstruksi daur ulang. Oh ya, ada juga fasilitas pembakaran sisa-sisa sampah tak terolah. Prinsipnya, biar sederhana, yang penting lengkap.

Menilik sistem kerja "samsat sampah" BPPT, maunya jelas, tak secuil pun limbah dibiarkan tersisa. Maunya juga kelak, di tempat pembuangan akhir maupun dalam skala lebih rendah, tak dikenal istilah penimbunan sampah. Karena begitu masuk penampungan, barang buangan langsung disulap jadi benda layak jual. Asyik, 'kan?

Catatan dari proyek percontohan ZWSK di Rawasari (luasnya 400 m2) menunjukkan, sampah yang berhasil diolah mencapai 20 m3 per hari. Setelah direka-reka, jumlah itu ternyata sama dengan sumbangan sampah 1.000 - 2.000 kepala keluarga (tergantung tingkat kepadatan penduduknya), atau setara dengan 2 - 5 komunitas Rukun Warga (RW).

Kalau dilakukan secara kontinyu, proyek ini berpotensi mengurangi timbunan sampah di TPA hingga 7.200 m3 per tahun. Otomatis, risiko penyebaran bau tak sedap makin berkurang. Udara Jakarta makin segar, karena dunia persampahan tak lagi menjijikkan. Sekali lagi, boleh 'kan berangan-angan? (Muhammad Sulhi)

BAGAIMANA DAUR ULANG KERTAS

1. Tidak setiap kertas bisa didaur ulang, lakukan penyortiran

2. Pilih kertas putih untuk didaur ulang

3. Rendam kertas yang sudah dipotong kecil semalam

4. Haluskan menggunakan blender atau lumpang besi

5. Campur dengan pewarna sesuai keinginan,setelah itu bisa dicampur dengan lem

6. Campur dengan air sesuai dengan ketebalan yang diinginkan, ayak menggunakan screen dan cetak di alas yang terbuat dari kain

7. Jemur hingga kering, lepaskan dari alas

8. Kertas seni daur ulang siap digunakan menjadi aneka produk barang bernilai seni (frame,box, block note dsb)

Sumber : rumahhijaupapyrus'site