Tampilkan postingan dengan label sosial kota. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sosial kota. Tampilkan semua postingan

Rabu, 19 Maret 2008

Menjadi Pemulung

Berbagai kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah ternyata dalam jangka pendek mengakibatkan berbagai dampak yang dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu beban. Selain itu usaha di berbagai sektor ekonomi menunjukkan kecenderungan semakin tidak kondusif, sehingga terjadi penurunan kesempatan kerja dan meningkatkan jumlah pengangguran. Realitas tersebut sebagai salah satu faktor penyebab semakin besarnya jumlah masyarakat miskin. Di sisi lain tersedia potensi untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat.

Salah satu potensi ekonomi yang saat ini belum tersentuh oleh berbagai kebijakan maupun program kegiatan yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah pengumpulan barang bekas atau rongsokan berbentuk plastik, logam, kertas yang telah dianggap sampah oleh orang yang membuangnya. Orang yang melakukan pengumpulan barang bekas atau sampah dan kemudian dijual disebut pemulung. Keberadaan pemulung telah memberikan konstribusi yang cukup berarti dalam menyelesaikan masalah sampah dan mampu memberikan percepatan roda perekonomian di Kota Bandung.

Pemulung merupakan alternatif profesi baru oleh sebagian masyarakat yang merasa tersingkirkan oleh berbagai kebijakan pemerintah dan sektor ekonomi lainnya. Namun demikian keberadaan pemulung oleh pemerintah hingga saat ini masih dipandang sebagai profesi yang tidak memberikan makna terhadap proses pembangunan, bahkan sebagian masyarakat menganggap bahwa pemulung adalah pihak yang perlu dicurigai keberadaannya.

Tersembul dalam pemikiran kita, bahwa kehadiran pemulung semestinya memberikan inspirasi bagi Kang Dada untuk mendesak PD Kebersihan melakukan diversivikasi usaha yang serupa dengan pemulung namun dikelola secara professional !!. Setidaknya ada dua manfaat yang diperoleh dengan dibukanya unit usaha pemulung ini, pertama pasti menguntungkan, kedua memenuhi keinginan masyarakat agar Kota Bandung terbebas dari banjir sampah, tanpa mengandalkan sumber dana yang berasal dari iuran warga.

Fakta bahwa profesi pemulung memberikan konstribusi pada pendapatan keluarga, tengok saja pemilik lapak-lapak penampungan barang-barang yang berasal dari tempat sampah di sepanjang Jalan Sukarno-Hatta Bypass, Jl. Suci, Cibiru…..dan masih banyak lagi !

Sumber : Bandung Intensif Care Unit

Anak Jalanan Bandung Mengkhawatirkan

Kondisi ekonomi saat ini telah banyak menimbulkan permasalahan sosial, yang menggejala secara simultan di berbagai kota-kota di Indonesia, termasuk di kota Bandung. Salah satu permasalahan sosial tersebut ditandai dengan adanya fenomena semakin maraknya pengamen-pengamen jalanan dan pedagang asongan di setiap perempatan jalan. Kehadiran dan keberadaan mereka diakui banyak kalangan sudah semakin tidak terkontrol, dan menimbulkan berbagai dampak negatif yang mau tidak mau juga dirasakan oleh masyarakat luas. Tengok dan rasakan tatkala kita berhenti di persimpangan jalan . Anak-anak mondar mandir dengan berbagai tingkah lakunya, membuat kita terenyuh dan sedih , ternyata masih banyak anak-anak bangsa kita yang hidupnya penuh dengan ketidakpastian masa depan.

Apa yang menjadi titik tolak permasalahan pengamen jalanan dan pedagang asongan ini adalah adanya peningkatan secara kuantitas yang bersifat sporadis, serta lambannya penanganan dan penanggulangan yang seharusnya dilakukan. Padahal dengan membiarkan menjamurnya kehidupan jalanan seperti ini, berarti kita harus menerima kenyataan yang cukup riskan : menumbuhkan benih-benih premanisme, terganggunya keonaran dan kenyaman pemakai jalan raya, terbengkalainya pendidikan anak-anak tersebut, mengundang pola urbanisasi yang tinggi, serta mendorong tindakan-tindakan kriminal di jalan raya.

Apabila dikaji lebih mendalam, peningkatan jumlah anak-anak jalanan diksebabkan oleh “daya tarik” di jalan raya. Artinya mereka sudah memiliki pemikiran, bahwa jalan raya adalah lahan kehidupan mereka. “Daya tarik” dan pola pikir yang terbentuk, serta belum terpenuhinya program-program penanggulangan dalam mengatasi anak-anak jalanan, menjadi semacam katalisator dalam peningkatan anak-anak jalanan secara kuantitas.

Hal yang paling penting dalam menaggulangi permasalahan anak-anak jalanan ini adalah adanya pengalihan profesi mereka, dari profesi-profesi liar di jalanan pada profesi yang lebih terorganisir (Organized Placement). Melalui pengalihan profesi ini diharapkan jumlah mereka dapat berkurang secara bertahap.

Berpijak dari persoalan dan kondisi yang ada, setidaknya ada beberapa faktor yang mesti dicermati :

Pertama, keberadaan anak-anak jalanan tersebut sudah dalam suatu format untuk mencari penghidupan (baca : uang) di jalanan sehingga mereka mempunyai anggapan bahwa uang akan dengan mudah mereka dapatkan di jalanan.

Kedua, sifat kehadiran dan keberadaan mereka dijalan sangat tidak terpola (unorganized) yang diikuti oleh terbentuknya profesi-profesi liar yang dapat menimbulkan dampak –dampak yang negatif.

Ketiga, belum adanya program yang terarah dan konkret dalam menanggulanginya. Program tersebut harus bersifat permanen, artinya mereka harus dialih profesikan secara terorganisir (organized placement), dengan menyediakan lapangan kerja baru agar mereka tidak tertarik untuk kembali ke jalanan. Hal ini sangat penting agar tidak terbentuk proses internalisasi profesi liar dan kehidupan jalanan dari anak-anak tersebut.

Keempat, adanya ikatan secara psikografis antara anak-anak jalanan dengan jalan raya, sehingga tidak mudah untuk memisahkan begitu saja ikatan tersebut. Perlu adanya semacam program yang masih memberikan keleluasaan bagi mereka melalui aktivitas yang bernuansa “jalanan”.

Kelima, belum terbentuknya “good will” dari semua unsur untuk mengatasi permasalahan pada tingkat yang lebih riil. Artinya dalam menanggulangi persoalan anak-anak jalanan harus ada kemauan yang kuat dari semua pihak dan masyarakat luas, untuk berpartisipasi dalam pelaksanaannya.

Semoga kelima factor yang perlu dicermati tersebut memberikan inspirasi bagi teman-teman yang peduli pada anak jalanan untuk diterjemahkan dalam bentuk program riil yang aplikatif di lapangan.

Sumber : Bandung Intensif Care Unit

Anak Jalanan Bandung Ditertibkan

Pemerintah Kota Bandung akan memembersihkan beberapa ruas jalan dan kawasan yang menjadi etalase Kota Kembang dari aktivitas anak jalanan.

"Etalase Kota Bandung terutama Jalan Junjunan dan tujuh titik di Kota Bandung menjadi prioritas pembersihan anak jalanan," kata Herry Nurhayat, Kepala Dinas Sosial Kota Bandung, di Bandung, Rabu (5/3).

Ia menyebutkan, operasi penertiban anak jalanan, pengemis, pengamen dan preman yang dilakukan dalam beberapa hari terakhir ini diprioritaskan di kawasan etalase Kota Bandung itu. Termasuk dibebaskan dari pedagang kaki lima.

"Tujuh titik di Kota Bandung telah dilakukan penertiban. Meski susahnya bukan main, tapi itu harus dilakukan demi Bandung ke depan," katanya.

Terkait penertiban anak jalanan, pengemis dan preman di Kota Bandung, diakui oleh Herry Nurhayat belum memiliki formula yang efektif.

Penertiban berupa operasi oleh jajaran Satpol PP Kota Bandung saat ini masih sebatas pembinaan kepada mereka agar tidak turun lagi ke jalanan.

"Kota Bandung belum memiliki panti sosial untuk pembinaan. Mereka yang terkena razia hanya dikumpulkan dan diberi pembinaan. Rata-rata mereka tidak jelas kependudukannya, tak punya KTP baik di Bandung maupun dari daerah asalnya," kata Herry.

Ia mengakui, penertiban saat ini belum menyentuh 'broker' para anak jalanan. Herry yakin bahwa keberadaan anak jalanan itu memiliki orang menjadi penanggung jawab mereka.

"Brokernya belum bisa tersentuh. Mereka tutup mulut saat dimintai jadi diri penangung jawab mereka," ucapnya.

Herry menyebutkan, penertiban anak jalanan, pengemis, dan preman itu menjadi beban berat Dinas Sosial Kota Bandung yang baru diresmikan dua bulan.[*/R2]

Sumber : Inilah.com

Rabu, 12 Maret 2008

Kemiskinan di Bandung Naik 10%

Angka kemiskinan baru di Kota Bandung bertambah sekitar 10% per tahun. Hal itu berpengaruh terhadap program penjaminan kesehatan karena jumlah warga miskin yang membengkak. Terkait hal itu, Pemkot Kota Bandung mengalokasikan dana Rp 15 miliar untuk jaminan kesehatan masyarakat miskin yang tidak terlayani program Jaminan Kesehatan Masyarakat/Jamkesmas (sebelumnya Askeskin-red.).

Dana tersebut dianggarkan dalam pos belanja hibah APBD 2008 dan persetujuan penggunaannya sedang dibahas Pansus III DPRD Kota Bandung.

Jumlah masyarakat miskin yang terdata berdasarkan SK Wali Kota Bandung No. 709 Tahun 2007 tentang Penetapan Masyarakat Miskin sebanyak 346.230 jiwa. "Berdasarkan angka kemiskinan baru mencapai 10% per tahun, diperkirakan jumlah masyarakat miskin bertambah. Untuk mereka yang tidak terdata di SK wali kota, bisa menggunakan surat keterangan miskin (SKM) yang dikeluarkan aparat kewilayahan setempat," ujar Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan pada Dinas Kesehatan Kota Bandung, dr. Susatyo Tri wilopo, ketika dihubungi via telefon, Sabtu (8/3).

Dia berharap, pengurus RT/RW jeli melihat kondisi warganya yang benar-benar miskin. Selain itu, SKM bisa digunakan oleh masyarakat yang terdata dalam SK Wali Kota No. 709 Tahun 2007, namun belum memiliki kartu Jamkesmas/Askeskin yang dikeluarkan PT Askes. Sementara itu, surat keterangan tidak mampu (SKTM) hanya dikeluarkan jika warga tersebut sudah menjalani pengobatan dan di tengah rangkaian pengobatan mengalami kesulitan dana.

"Misalnya, untuk operasi butuh Rp 7 juta dan pasien hanya punya Rp 5 juta. Maka, bisa membuat SKTM. Ini untuk mengantisipasi jangan sampai terjadi masyarakat yang pura-pura miskin seperti terjadi tahun lalu," kata Susatyo.

Kendala

Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung dr. Gunadi Sukma Bhinekas menjelaskan, jenis pelayanan yang dilayani meliputi Rawat Inap Tindak Lanjut (RITL) di ruang perawatan biasa kelas III, RITL di ruang perawatan khusus (ICU, NICU, dll.), persalinan risiko tinggi, penunjang diagnostik, tindakan medis, tindakan medis operatif, hemodialisa, pelayanan darah, dan pelayanan lain yang sesuai dengan program Jankesmas/Askeskin.

Menurut Gunadi, ada beberapa kendala yang ditemui, yaitu banyak masyarakat miskin yang tidak memiliki identitas kependudukan. Terkait hal itu, dinkes meminta instansi terkait membebaskan biaya pembuatan identitas kependudukan. "Masyarakat miskin masih banyak yang tidak mengetahui prosedur pelayanan, baik secara administrasi maupun medis," ucapnya.

Masyarakat miskin disarankan menjalani prosedur pengobatan yang diawali di puskesmas. Selama ini, lanjut Gunadi, banyak masyarakat miskin yang tidak datang ke puskesmas lebih dulu. "Mereka langsung ke rumah sakit. Akibatnya rumah sakit seperti RSHS seperti puskesmas raksasa karena dipadati pasien yang mestinya masih bisa ditangani puskesmas," katanya.

Tahun 2007, APBD Kota Bandung mengalokasikan dana buffer stock bagi masyarakat miskin Rp 5,9 miliar. Akan tetapi, dana tersebut hanya terserap Rp 756 juta. Menurut Gunadi, Hal itu disebabkan minimnya sosialisasi karena waktu yang sempit.

(Sumber PR on line)