Sabtu, 15 Maret 2008

INDONESIA BISA BANGKRUT KARENA "SAMPAH"

Mungkin, selanjutnya di kemudian hari, kata “sampah” akan banyak digunakan dalam kehidupan politik di Indonesia, atau, bahkan di berbagai kalangan masyarakat luas dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Setelah Presiden Megawati mengucapkannya di depan Rapat Koordinasi Nasional Pendayagunaan Aparatur Negara baru-baru ini di Jakarta, yang dihadiri 900 pejabat pemerintahan, arti kata “sampah” ini sudah tidak hanya terbatas pada segala kotoran atau barang yang tidak berguna yang sering kita temukan di jalan, di dalam rumah atau di halaman. Tidak pula hanya terbatas pada sampah yang banyak ditemukan dalam banjir akhir-akhir ini.

Dalam konteks situasi politik, ekonomi dan sosial di Indonesia dewasa ini, kata “sampah” bisa dikaitkan dengan orang-orang atau hal-hal yang sudah membusuk, kotor, menjijikkan, tidak berguna, dan, karenanya, perlu dibuang atau disingkirkan! Ungkapan semacam ini adalah tepat, jelas, dan “mengena” sekali untuk digunakan terhadap : segala tokoh yang melakukan KKN, para pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri, anggota-anggota DPR/DPRD yang mengkhianati amanat rakyat, hakim-hakim yang bisa dibeli, jaksa yang melacurkan diri, polisi yang memperjual-belikan undang-undang, advokat/pengacara yang memelintir hukum demi uang, pimpinan bank yang “merampok” uang publik, konglomerat yang melarikan uang rakyat ke luarnegeri, anggota-anggota Mahkamah Agung yang menjadi perusak norma-norma hukum dan keadilan, kyai dan ulama (juga pendeta) yang menipu dengan menggunakan ayat-ayat suci, dan .....entah apa lagi lainnya.

“Sampah” semacam itu bisa kita lihat di mana-mana., baik di Jakarta maupun di daerah-daerah (provinsi, kabupaten dan kecamatan). Dan, kita bisa saksikan juga, bahwa sebagian terbesar “sampah” itu adalah produk sistem politik Orde Baru. Namun, adalah jelas sekali juga, bahwa berbagai pemerintahan sesudah tumbangnya Orde Baru juga terus melahirkan sampah-sampah baru. Sampah-sampah baru ini bercampur-aduk dengan sampah-sampah lama yang terdapat dalam pemerintahan, lembaga-lembaga resmi maupun swasta, BUMN, bahkan juga di kalangan partai politik (PDI-P, Golkar, PPP, PBB, PAN dll).

Sampah-sampah lama dan baru inilah yang sekarang menyebabkan kehidupan moral bangsa makin membusuk, memacetkan reformasi, menghalangi penegakan hukum, mencegat jalannya pembrantasan korupsi. Singkatnya, karena sampah-sampah itulah maka negara dan bangsa kita menghadapi begitu banyak penyakit parah dan berbahaya, sehingga sudah mulai megap-megap (!!!) dan mungkin bisa pingsan nantinya. Begitu banyaknya sampah, sehingga banyak orang menjadi pesimis, apakah dengan pimpinan tokoh-tokoh Angkatan 45, Angkatan 65, Angkatan 74 (Malari), dan sebagian Angkatan 97 (sesudah tergulingnya Suharto), Indonesia akan bisa punya “clean government”. Sebab, banyak orang dari berbagai Angkatan itu sudah begitu rusaknya, sehingga menjadi sampah masyarakat, yang bukan saja tidak berguna lagi, bahkan menjadi sumber penyakit bangsa.

Situasi negara kita memang sudah betul-betul payah, sebagai akibat banyaknya sampah busuk yang merusak tubuh bangsa kita. Di antara banyak contohnya, yang bisa jadi renungan bersama kita, adalah yang berikut :


SAMPAH YANG BIKIN UTANG MENGGUNUNG

Dalam suratkabar Jawa Pos (10 Februari 2002) bisa kita baca satu berita yang amat panjang dan bisa “mengejutkan” banyak orang. Berita penting ini mungkin sulit ditemukan dalam suratkabar lainnya di Indonesia, atau, kalaupun ada, maka tidak segamblang itu dalam penyajiannya. Yaitu, uneg-uneg bercampur kekesalan atau kemarahan Menko Perekonomian Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjorojakti tentang utang luarnegeri dan dalamnegeri yang sedang dihadapi oleh Indonesia dewasa ini dan di masa yang akan datang. Uneg-uneg ini dilampiaskannya selama hampir 2 jam di depan kira-kira 200 orang Indonesia di KBRI Washington, tanggal 11 Februari malam.

Dalam uneg-uneg yang dimuntahkannya dengan nada tinggi dan kekesalan besar itulah ia membeberkan betapa besarnya utang yang ditanggung oleh bangsa, sebagai warisan lama, dan yang sekarang menjadi tanggungan berat bangsa. Ia kemukakan bahwa utang luarnegeri Indonesia hampir sama dengan utang dalamnegeri, yang masing-masing adalah sekitar USD 70 miliar. Tetapi, menurutnya, sebenarnya utang yang paling dahsyat itu bukan utang luarnegeri. Bedanya, utang luarnegeri itu berupa soft loan, sehingga jangka pengembaliannya lama. Bunga pinjaman Bank Dunia hanya 1-2 persen. Bunga pinjaman ODA (Official Development Assistant) bahkan hanya 0,3 persen. Pinjaman dari IMF juga dikenai bunga rendah, yakni hanya 3-4 persen, katanya.

Tetapi, bunga untuk pinjaman dalamnegeri itu sama dengan bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia), yakni kuranglebih 17 persen. “Coba bayangkan”, kata Dorodjatun yang mantan dekan FE-UI itu, sambil mengajak hadirin berhitung. Dalam hitungan rupiah, utang USD 70 miliar itu sama dengan sekitar Rp 655 triliun (Rp 655 000 000 000 000). Dengan bunga 17 persen, berarti pembayaran bunganya saja sudah sekitar Rp 60 triliun SETIAP TAHUN (dengan angka lengkap, supaya lebih jelas : Rp 60 000 000 000 000). Dan itu sama dengan USD 6 miliar. Sedangkan bunga utang luarnegeri paling banter kita bayar hanya USD 2 miliar. Utang luarnegeri ini bisa diusahakan untuk dijadwalkan kembali, kalau keadaan sudah mepet, seperti yang sudah-sudah.

Menurut Dorodjatun, yang parah adalah utang dalamnegeri. Sebab, harus dibayar lewat budget (anggaran negara). Itu diambil dari penghasilan negara, yang dikeluarkan lewat bank-bank yang bangkrut itu. Supaya banknya tidak bangkrut, kita berikan obligasi. Lantas, kita berikan penghasilan kepada bank, sehingga bank jalan. Jadi dengan begitu sebetulnya kita memberikan subsidi kepada bank-bank itu. Kalau kita tenggelamkan bank-bank itu, sekian juta nasabah bank kita tidak mempunyai lagi lembaga penjamin, tidak ada deposit insurance seperti yang semestinya, katanya.

Dalam uraiannya itu, Dorodjatun mengisyaratkan kekesalannya bahwa di Indonesia belum ada peraturan penjaminan dana nasabah di bank. Jadi kalau banknya bangkrut maka pemerintah harus mengganti. Kalau di AS, jaminannya dilakukan melalui asuransi, terbatas maksimal 100 000 USD. Sedangkan untuk Indonesia, untuk berapapun, tidak ada jaminan seperti itu. Karena itu, kita terpaksa memberi blanket guarantee (jaminan menyeluruh) saat krisis 1998. Tidak peduli apa sebabnya, pokoknya semua yang berurusan dengan bank, kita garansi. “Jadi enak saja, diganti. Jangan tanya saya kenapa itu diberikan. Itu kan 1998. Saya cuma mewarisi. Yang hebat, on budget dan off budget digaransi”, ungkapnya.

Kegemasan hatinya nampak ketika ia bicara tentang beban utang dalam negeri. “Sebab, yang diberikan kepada orang miskin lewat dana kompensasi sosial hanya Rp 2,85 triliun, sedangkan yang dipakai untuk rekapitalisasi (bank) Rp 60 triliun. Penghutang besar (dari kalangan berbagai pimpinan bank) itulah yang membikin brantakan negeri ini. Sebab, mereka lupa memenuhi kewajiban membayar utang-utang itu, dan ini sudah berlangsung selama 4 tahun”, ujarnya dengan nada tinggi. Singkatnya, dengan panjang lebar Dorodjatun mengungkap berbagai keanehan dan ketidakberesan dalam sejarah masalah utang negara kita, yang selama ini tidak pernah terungkap.

(Catatan penulis : cuplikan di atas adalah ringkasan dari bagian-bagian terpenting berita Jawa Pos itu. Dari ringkasan itu saja sudah kelihatan bahwa utang kita yang amat besar sekarang ini adalah akibat faktor “sampah” yang bertimbun di kalangan “atas” pemerintahan, di kalangan bank, di kalangan konglomerat)


60% PENDUDUK INDONESIA DI BAWAH GARIS KEMISKINAN

Berikut adalah beberapa kutipan dari pers, yang amat penting bagi berbagai golongan dalam masyarakat, untuk makin menyadari betapa urgennya perjuangan kita bersama untuk membersihkan negeri kita dari “sampah”. Menurut Deputi Sekretaris Wapres Bidang Kewilayahan, Kebangsaan dan Kemanusiaan, Prof. Dr. Gunawan Sumodiningrat, sekitar 60 persen penduduk Indonesia saat ini hidup di bawah garis kemiskinan dan ketidakberdayaan ( KOMPAS Cybernews 16 Februari 2002)

Angka 60 persen ini amat besar, kalau kita ingat bahwa penduduk Indonesia dewasa ini sudah mencapai lebih dari 210 juta orang. Ini berarti bahwa sekitar 126 juta penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan. Menurut data Bank Dunia berdasarkan barometer International Poverty Line (garis kemiskinan internasional) sebesar US$2 per hari, dari jumlah penduduk miskin Indonesia yang mencapai 60 persen itu, ada 10 sampai 20 persen yang termasuk SANGAT MISKIN. Artinya, antara 20 sampai 40 juta orang hidup dalam kesengsaraan yang amat menyedihkan.

Sedangkan menurut Bomer Pasaribu, mantan Menteri Tenaga Kerja, yang sekarang menjabat Direktur CLDS (Center of Labor and Development Studies), angka pengangguran di Indonesia akan terus meningkat 1 juta sampai 2,5 juta per tahun selama 2002-2004. Untuk tahun 2002, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 3,3 persen, angka pengangguran diperkirakan akan mencapai jumlah 42 juta orang. (Kalau jumlah tenaga kerja yang aktif ditaksir sekitar 100 juta - laki dan perempuan –, maka jumlah pengangguran mencapai lebih dari 40% !!! Pen.).

Masih menurut Bomer Pasaribu, yang lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya pembengkakan pengangguran terdidik lulusan perguruan tinggi, yakni dari 1,8 juta orang di tahun 2001 menjadi 1,9 juta (2002), 2,41 juta (2003), dan mencapai 2,56 juta (2004). Angka tersebut akan terus bertambah dengan timbulnya bencana banjir, dan kekeringan akibat La Nina dan El Nino yang diperkirakan akan segera melanda Indonesia. Belum lagi persoalan tenaga kerja Indonesia (TKI) di luarnegeri yang belum terselesaikan (Suara Pembaruan, 16 Februari 2002)

Kalau kita renungkan dalam-dalam, dan dengan kepedulian yang peka, maka akan nyatalah bahwa angka-angka tersebut di atas bisa membikin brontak hati-nurani banyak orang. Apalagi, kalau kita tambahkan di situ kerugian jiwa dan benda, dan juga penderitaan pedih begitu banyak orang yang disebabkan oleh bencana besar kali ini. Atau, juga kalau kita tambahkan penderitaan lebih dari 1,2 juta orang “pengungsi” di negeri kita sendiri, yang disebabkan oleh kerusuhan dan pertikaian dengan latar-belakang SARA, yang ditimbulkan atau dikompori oleh oknum-oknum yang sesat fikiran.


BERSIHKAN SAMPAH-SAMPAH MASYARAKAT ITU!

Karena begitu banyaknya “sampah masyarakat” yang terdapat di mana-mana, lalu apakah bangsa kita harus berusaha menyingkirkannya? HARUS! Sebab, tanpa membuangnya, maka kapal yang berbendera “Republik Indonesia” akan makin karatan, makin bolong-bolong, makin rapuh, makin bobrok, sehingga bisa tenggelam. Namun, kita semua perlu bersikap realis dan menyadari bahwa pekerjaan “membuang sampah” ini tidak mudah, memerlukan waktu dan juga cara yang tepat. Yang perlu mendapat prioritas untuk dibuang atau disingkirkan adalah “sampah kelas kakap”, yang ada hubungannya dengan masalah kasus-kasus berat seperti penyelesaian praktek-praktek “konglomerat gelap” yang tersangkut dengan masalah BPPN, BLBI, dan dana-dana haram keluarga Cendana

Sebab “sampah kelas kakap” inilah (baik yang di pemerintahan maupun di kalangan swasta) yang melakukan kejahatan yang besar sekali di bidang politik, ekonomi, dan ... moral, sehingga negara menjadi bangkrut akibat krisis berat yang multidimensional, seperti sekarang ini. Mereka inilah, yang dengan mempermainkan uang haram (sogokan atau kolusi) telah memperjual-belikan hukum dan kekuasaan. Mereka ini pulalah yang sebagai maling-maling besar telah mencuri secara besar-besaran – dan tanpa segan-segan - kekayaan publik. Mereka ini jugalah yang menyebabkan utang negara menggunung begitu tinggi, yang sekarang menjadi tanggungan yang berat bagi bangsa. Padahal, utang besar ini hanyalah dinikmati oleh para “sampah masyarakat” itu. Sedangkan ratusan juta rakyat hidup dalam penderitaan karena serba kekurangan.

Kiranya, sekarang makin jelaslah bagi banyak orang, bahwa “sampah masyarakat” kelas kakap inilah yang selama lebih dari 32 tahun telah mengotori iman banyak orang, merusak moral banyak kalangan, membusukkan hati-nurani banyak tokoh masyarakat, membunuh kepekaan kepedulian terhadap penderitaan rakyat. Karena ulah “sampah masyarakat” itulah maka banyak orang kehilangan kejujuran. Karena ulah “sampah masyarakat” itulah maka kebudayaan mengejar uang haram menjadi-jadi. “Sampah masyarakat” ini, yang terdapat di kalangan “atas”, telah menjadi contoh jelek bagi banyak orang yang ikut-ikut - secara berlebih-lebihan dan membabi-buta - mengejar kebendaan dan kemewahan yang haram, dengan menghalalkan segala cara.

Melihat sudah begitu luasnya dan begitu beratnya kerusakan-kerusakan yang sudah dilakukan “sampah masyarakat” terhadap negara dan bangsa, maka jelaslah bahwa segala usaha harus ditempuh sehingga “sampah masyarakat” ini tidak bisa terus merusak kesehatan tubuh bangsa kita. Untuk itu, opini publik perlu terus digalang dan digalakkan bersama-sama, guna mendorong dan mendesak pimpinan pemerintahan, DPR/MPR, aparat-aparat penegak hukum, untuk lebih berani dan lebih tegas bertindak terhadap “sampah masyarakat kelas kakap”, tanpa pandang bulu (asal keturunan, agama, suku, aliran politik, dan kedudukan sosial).


HUBUNGAN ANTARA “SAMPAH” DAN UANG

Mengingat situasi negeri kita yang sudah terpuruk begitu dalam dewasa ini, sehingga sudah diperumpamakan sebagai “perusahaan yang bangkrut” (karena membayar cicilan utang saja pun sudah tidak mampu!), dan juga mengingat begitu banyaknya masalah-masalah besar yang tidak bisa (atau belum bisa) di atasi, maka kita patut merenungkan mengapa keadaan negeri bisa menjadi sedemikian parah ? Terhadap pertanyaan semacam itu, tentu saja orang bisa mengajukan bermacam-macam analisa, dan melihatnya dari sudut-pandang yang berbeda-beda.


Namun, kalau kita teliti dalam-dalam, akan nampaklah bahwa persoalan-persoalan besar dan parah yang terjadi di Indonesia dewasa ini adalah, pada dasarnya, dilatarbelakangi oleh faktor-faktor : uang haram, moral rendah, dan tujuan hidup yang tidak luhur. Apa yang terjadi di belakang kasus-kasus BLBI (Bantuan Likuiditas BI) , BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional), BULOG, PKPS (Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham), adalah faktor uang haram yang jumlahnya besar sekali (ratusan triliun rupiah!!!) , yang dipermainkan oleh oknum-oknum yang memang patut untuk dijuluki “sampah masyarakat”. Moral rendah itulah yang membimbing mereka dalam melakukan penipuan, pemalsuan, penyogokan, demi “keuntungan” besar-besaran dan secepat-cepatnya. Padahal, umumnya mereka itu adalah oknum-oknum yang sudah kaya raya. Bahkan, banyak yang SANGAT kaya raya. Dari segi itulah kita bisa melihat ukuran moral mereka. Sudah kaya raya, tetapi masih juga bertindak sebagai maling-maling besar dan tidak segan-segan mendatangkan penderitaan bagi banyak orang!


Karena itu, sampah masyarakat “kelas kakap” inilah yang perlu “diberesi” lebih dulu lewat cara-cara yang adil baik secara hukum, secara politik, maupun secara moral. Tindakan tegas terhadap mereka akan membikin jera segala macam “sampah” lainnya, yang tergolong “kelas teri” (termasuk di kalangan pejabat). Tindakan tegas terhadap “sampah masyarakat” kelas kakap akan memberikan sumbangan penting kepada pendidikan politik dan moral bagi bangsa. Selain itu juga merupakan langkah penting untuk membuktikan bahwa hukum sudah bisa tegak di negeri ini, dan bahwa uang bukanlah lagi suatu kekuatan yang bisa dengan arogan, dan dengan mudah pula, “membeli” para pejabat (termasuk aparat-aparat peradilan).


Namun, apakah dengan banyaknya “sampah” yang masih berjubel di mana-mana (antara lain, di kalangan : advokat/pengacara, pemerintahan pusat, anggota DPR/MPR, para penegak hukum) apakah ‘sampah masyarakat” kelas kakap akan bisa ditindak? Apakah dengan menggunakan sampah kita akan bisa membersihkan sampah?


Salah satu di antara jawabannya (barangkali) adalah : “Mari kita galakkan terus aksi-aksi reformasi, dengan berbagai cara dan bentuk. Galang terus seluas-luasnya kekuatan lintas-agama, lintas-suku, lintas-partai, untuk mengganyang korupsi. Kritik terus dan gugat terus pemerintah, DPR (dan berbagai lembaga lainnya) untuk bertindak tegas. Namun, janganlah kita hanya menunggu kesediaan dan kesiapan pemerintah untuk membersihkan “sampah masyarakat” ini. Republik ini adalah milik rakyat, dan marilah kita cegah para “sampah masyarakat’ itu merusak terus-terusan milik kita yang berharga ini. Marilah kita jaga bersama-sama supaya Republik Indonesia tidak dibangkrutkan oleh para “sampah masyarakat” itu!

Sumber : A. Umar Said

Tentang Daur Ulang

Kalau beberapa waktu lalu di Jakarta orang rebut-ribut soal Tempat Pembuangan Akhir (TPA) untuk sampah warga ibukota, di Melbourne hal tersebut bukan merupakan masalah. Hal ini disebabkan pengaturan pembuangan sampah telah diatur sedemikian rupa sehingga sampah yang bisa didaur ulang terpisah dari yang tidak.

Sampah tersebut ditaruh ke dalam tempat sampah yang berbeda berdasarkan jenisnya. Sampah rumah tangga yang non-pohon ditempatkan ke tempat sampah beroda dengan tutup hijau tua; sementara sampah dari pohon (daun, bunga, ranting) ditempatkan ke tempat sampah beroda dengan tutup hijau muda; sedangkan sampah daur ulang ditempatkan ke tempat sampah beroda dengan tutup berwarna kuning.

Sampah-sampah tersebut diambil seminggu sekali. Masing-masing suburb punya jadwal yang berbeda, ada yang hari Rabu, ada yang Kamis, dan ada yang Jum’at. Tempat sampah tersebut harus ditaruh di pinggir jalan depan flat, apartemen atau rumah masing-masing dengan posisi tutup menghadap jalan. Sehingga ketika mobil pengangkut sampah datang, sang supir tidak perlu keluar, cukup menggerakkan alat seperti capit dari mobilnya dan otomatis sampah tertuang ke dalam bak sampah di mobil. Sampah yang tidak ditaruh pada tempatnya (seperti dimasukkan ke dalam kotak atau kantong di luar tempat sampah yang semestinya) dijamin tidak akan diangkut. Cukup efisien bukan, dan yang penting hemat tenaga serta bersih.

Masing-masing tempat sampah ditangani oleh mobil sampah yang berbeda dan ketika sampah tersebut masuk ke dalam bak mobil sampah, langsung diolah secara otomatis sehingga tidak menggunung ataupun berceceran di jalan, dan yang penting, baunya tidak keluar menusuk hidung pengguna jalan.

Untuk barang-barang rumah tangga seperti kulkas, mesin cuci, dsb yang sudah rusak harus ditempatkan di pinggir jalan menjelang hari Pengambilan Sampah Besar Tahunan yang biasanya diadakan setiap bulan Agustus dan September. Sementara untuk minyak dan bahan-bahan kimia dapat dibuang dengan aman pada saat Pengambilan Bahan-bahan Kimia yang telah dijadwalkan oleh suburb masing-masing.

Sampah daur ulang akan disortir di depot daur ulang berdasarkan jenisnya untuk kemudian diolah menjadi produk2 daur ulang. Jika sampah daur ulang terkontaminasi produk non daur ulang, sampah tersebut langsung dikirim ke TPA. Karena itu harus jeli juga menentukan mana sampah yang daur ulang dan mana yang tidak.

Apa yang bisa didaur ulang?
- kardus
- koran, majalah, buku telepon, kertas-kertas bekas pekerjaan kantor dan sekolah, brosur-brosur iklan.
- Karton bekas susu dan jus
- Botol kaca dan toples
- Wadah plastik dengan kode PETE (1), HDPE (2) dan V (3). Kode lain dianggap kurang berkualitas dan harus ditaruh di tempat sampah biasa.
- Kaleng aerosol, aluminium foil yang bersih.

Tips Untuk Sampah Daur Ulang
- bersihkan toples dan kaleng dari sisa makanan yang menempel
- penyokkan botol plastik dan kaleng untuk menghemat tempat
- gunting boks kardus yang besar sehingga dapat keluar dari tempat sampah dengan mudah
- pisahkan tutup botol plastik dan tutup botol kaca, keduanya harus masuk ke tempat sampah biasa

Apa yang tidak bisa didaur ulang?
- kantong plastik –jangan membungkus sampah daur ulang dengan kantong plastik
- pecahan kaca jendela, gelas, atau peralatan makan lainnya
- kardus mengandung lapisan lilin
- kardus atau karton bekas pizza atau makanan lainnya yang menempel
- polystyrene (wadah foam putih)
- wadah bekas minyak untuk mesin atau bahan kimia
- sampah hijau (dari pohon)
- wadah plastik yang tidak bisa didaur ulang seperti wadah es krim, margarin dan pot tanaman.

Mudah-mudahan Jakarta bisa menerapkan sistem penanganan sampah seperti ini...

(Sumber : Taksebatascakrawala.blogspot.com)

Sampah, tanggung jawab siapa ?

UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan : “Setiap manusia mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan hak dan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Selanjutnya:”Setiap manusia berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.”

Sebagai wakil Allah SWT di bumi, kita mendapat titipan memelihara apa yang ada di bumi. Kita diberi Allah SWT makanan, pakaian, rumah, semuanya dari hasil bumi. Lalu apakah pantas kita kembalikan sebagai sampah dan racun yang merusak bumi?

Data dari berbagai Negara menunjukkan bahwa yang lebih banyak menjadi korban pencemaran lingkungan adalah perempuan dan anak2. Berbagai bahan kimia rumah tangga lebih banyak dihirup perempuan dan anak2 yang berada di rumah. Sedangkan gas beracun yang terkumpul pada ketinggian kurang dari 1 meter, lebih banyak dihirup anak-anak. Tidak terpeliharanya bumi, mengakibatkan jumlah penderita kanker, asma dan anak2 autis setiap tahun makin meningkat.

Karena kurangnya kesempatan mendapat informasi atau penyuluhan tentang pencemaran dan perusakan lingkungan, peranan perempuan masih belum telihat nyata. Perempuan bisa dan wajib berperan dalam melestarikan lingkungan hidup. Mulailah dari diri kita sendiri, lalu menularkan kepada keluarga dan lingkungan terdekat kita. Merubah pola hidup tidak mudah, akan tetapi harus kita mulai dari sekarang. Tentu kita tidak ingin anak-cucu kita beberapa tahun lagi menjadi generasi yang fisiknya lemah, intelegensianya rendah, karena menghirup udara tercemar atau makan makanan tercemar.
Anak-anak sejak usia dini perlu mendapat pendidikan lingkungan, agar memiliki pola hidup yang berwawasan lingkungan. Istilah sekarang adalah pola hidup hijau.

Pola hidup hijau adalah perilaku yang menganut kaidah 4R yaitu : Reduce ( mengurangi pemakaian), Reuse ( menggunakan kembali ), Recycle ( mendaur ulang ) dan Replant ( menanam kembali ).

Di rumah tangga, banyak kegiatan perempuan yang menghasilkan limbah. Setiap belanja, kita membawa pulang tas-tas “kresek”. Isinya pelbagai barang belanjaan dalam kemasan plastic atau kaleng. Ada makanan, detergen, pembersih, pewangi, setelah habis isinya menjadi sampah, yang disebut sampah anorganik.

Di dapur potongan sayuran, kulit buah, sisa makanan, adalah sampah organic rumah tangga sehari-hari yang selalu ada. Kalau tidak segera ditangani akan membusuk, menimbulkan bau dan mengundang lalat, semut, kecoa, tikus, kucing dll. Di halaman, daun-daun yang luruh, potongan tanaman, adalah sampah organic juga.

Komposisi sampah rumah tangga, yang terbanyak adalah sampah organic (60-70%), sampah non-organik yang masih dapat didaur ulang 20%. Sisanya sekitar 10% adalah sampah non-organik yang tidak dapat didaur ulang ( misalnya pampers, plastic Styrofoam) dan bahan berbahaya ( batere bekas dll).

Mengapa kita tidak merubah kebiasaan ‘membuang’ menjadi ‘mengelola’?

(Sumber : Hasanpoerbo.blogspot.com)

Mari membuat kompos skala rumah tangga

Salah satu dari pola hidup hijau yang dapat kita laksanakan adalah mengelola sampah organic rumah tangga, dengan membuatnya menjadi kompos.

Kompos adalah pupuk yang dibuat dari sampah organic organic.
Pembuatannya tidak terlalu rumit, tidak memerlukan tempat luas dan tidak memerlukan banyak peralatan dan biaya. Hanya memerlukan persiapan pendahuluan, sesudah itu kalau sudah rutin, tidak merepotkan bahkan selain mengurangi masalah pembuangan sampah, kompos yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sendiri, tidak perlu membeli.

Kompos berguna untuk memperbaiki struktur tanah, zat makanan yang diperlukan tumbuhan akan tersedia. Mikroba yang ada dalam kompos akan membantu penyerapan zat makanan yang dibutuhkan tanaman. Tanah akan menjadi lebih gembur. Tanaman yang dipupuk dengan kompos akan tumbuh lebih baik. Hasilnya bunga-bunga berkembang, halaman menjadi asri dan teduh. Hawa menjadi segar karena oksigen yang dihasilkan oleh tumbuhan.

Bagaimana Kompos Terjadi

Sampah organic secara alami akan mengalami peruraian oleh berbagai jenis mikroba, binatang yang hidup di tanah, enzim dan jamur. Proses peruraian ini memerlukan kondisi tertentu, yaitu suhu, udara dan kelembaban. Makin cocok kondisinya, makin cepat pembentukan kompos, dalam 4 – 6 minggu sudah jadi. Apabila sampah organic ditimbun saja, baru berbulan-bulan kemudian menjadi kompos. Dalam proses pengomposan akan timbul panas krn aktivitas mikroba. Ini pertanda mikroba mengunyah bahan organic dan merubahnya menjadi kompos. Suhu optimal untk pengomposan dan harus dipertahankan adalah 45-65C.Jika terlalu panas harus dibolak-balik, setidak-tidaknya setiap 7 hari.

Peralatan

Di dalam rumah ( ruang keluarga, kamar makan ) dan di depan dapur disediakan 2 tempat sampah yang berbeda warna untuk sampah organic dan sampah non-organic. Diperlukan bak plastic atau drum bekas untuk pembuatan kompos. Di bagian dasarnya diberi beberapa lubang untuk mengeluarkan kelebihan air. Untuk menjaga kelembaban bagian atas dapat ditutup dengan karung goni atau anyaman bambu. Dasar bak pengomposan dapat tanah atau paving block, sehingga kelebihan air dapat merembes ke bawah. Bak pengomposan tidak boleh kena air hujan, harus di bawah atap.

Cara Pengomposan

- Campur 1 bagian sampah hijau dan 1 bagian sampah coklat.
- Tambahkan 1 bagian kompos lama atau lapisan tanah atas (top soil) dan dicampur. Tanah atau kompos ini mengandung mikroba aktif yang akan bekerja mengolah sampah menjadi kompos. Jika ada kotoran ternak ( ayam atau sapi ) dapat pula dicampurkan .
- Pembuatan bisa sekaligus, atau selapis demi selapis misalnya setiap 2 hari ditambah sampah baru. Setiap 7 hari diaduk.
- Pengomposan selesai jika campuran menjadi kehitaman, dan tidak berbau sampah. Pada minggu ke-1 dan ke-2 mikroba mulai bekerja menguraikan membuat kompos, sehingga suhu menjadi sekitar 40C. Pada minggu ke-5 dan ke-6 suhu kembali normal, kompos sudah jadi.
- Jika perlu diayak untuk memisahkan bagian yang kasar. Kompos yang kasar bisa dicampurkan ke dalam bak pengomposan sebagai activator.

Keberhasilan pengomposan terletak pada bagaimana kita dapat mengendalikan suhu, kelembaban dan oksigen, agar mikroba dapat memperoleh lingkungan yang optimal untuk berkembang biak, ialah makanan cukup (bahan organic), kelembaban (30-50%) dan udara segar (oksigen) untuk dapat bernapas.
Sampah organic sebaiknya dicacah menjadi potongan kecil. Untuk mempercepat pengomposan, dapat ditambahkan bio-activator berupa larutan effective microorganism (EM) yang dapat dibeli di toko pertanian.

Penutup

Apabila setiap rumah tangga melakukan pemilahan sampahnya: yang organic dijadikan kompos, yang non-organik disedekahkan kepada pemulung, maka pemerintah tinggal mengelola sisanya yang 10% saja,yang tidak dapat didaur ulang. Alangkah senangnya pemulung, kalau penghuni rumah sudah memilah sampahnya, sehingga mereka tinggal mengambil kertas, plastic dsb. yang tidak dikotori sisa makanan, tanpa mengobrak-abrik bak sampah (maaf) berebutan dengan anjing dan kucing. Jam kerjanya akan lebih pendek, uang yang diperoleh akan lebih banyak.
Pembuatan kompos ini dapat pula dilakukan secara kolektif, apabila keadaan tidak memungkinkan. Misalnya perumahan padat penduduk, atau apartemen. Pengelolaannya dapat diserahkan kepada RW atau pihak swasta. Namun masing-masing rumah tangga tetap harus melakukan pemilahan sampahnya. Sehingga tidak perlu lagi ada TPA yang memerlukan tanah luas dan menimbulkan masalah pencemaran, bahaya longsor, pendangkalan sungai, penyakit dsb.

Marilah…..kita menjadi pelopor, penggerak keluarga dan masyarakat di sekitar kita.
Selain ikut memelihara lingkungan hidup, juga beribadah.
Mulailah dari yang kecil.
Mulailah dari diri sendiri.
Mulailah sekarang juga.

(Sumber : Hasan Poerbo)

Semen dari Sampah

epang, sebuah negeri penuh inovasi. Mungkin sebutan itu sesuai dengan bagaimana jepang menangani masalah sampah. Setelah berhasil membuat sebuah airport berkelas internasional di Kobe yang dibuat diatas lapisan sampah, lalu menerapkan pembuatan pupuk dari sampah di berbagai hotel di jepang, kini jepang telah berhasil mengubah sampah menjadi produk semen yang kemudian dinamakan dengan ekosemen.

Ekosemen

Diawali penelitian di tahun 1992, dengan dibiayai oleh Development Bank of Japan, para peneliti Jepang telah meneliti kemungkinan abu hasil pembakaran sampah, endapan air kotor dijadikan sebagai bahan semen. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa abu hasil pembakaran sampah mengandung unsur yg sama dg bahan dasar semen pada umumnya. Pada tahun 1998, setelah melalui proses uji kelayakan akhirnya pabrik pertama didunia yang mengubah sampah menjadi semen didirikan di Chiba. Pabrik tersebut mampu menghasilkan ekosemen 110.000 ton per tahunnya. Sedangkan sampah yang diubah menjadi abu yang kemudian diolah menjadi semen mencapai 62.000 ton per tahun, endapan air kotor dan residu pembakaran yang diolah mencapai 28.000 ton per tahun. Hingga saat ini sudah dua pabrik di Jepang yang memproduksi ekosemen.


Gambar 1. Simulasi pembuatan eko semen dari limbah rumah tangga

Pembuatan ekosemen

Penduduk jepang membuang sampah baik organik maupun anorganik, sekitar 50 juta ton/tahun. Dari 50 ton per tahun tersebut yang dibakar menjadi abu sekitar 37 ton per tahun. Sedangkan abu yang dihasilkan mencapai 6 ton/tahunnya. Dari abu inilah yang kemudian dijadikan sebagai bahan dari pembuatan ekosemen. Abu ini dan endapan air kotor mengandung senyawa-senyawa dalam pembentukan semen biasa. Yaitu, senyawa-senyawa oksida seperti CaO, SiO2, Al2O3, dan Fe2O3. Oleh karena itu, abu ini bisa berfungsi sebagai pengganti clay yang digunakan pada pembuatan semen biasa.

Namun CaO yang terkandung pada abu hasil pembakaran sampah dinilai masih belum mencukupi, sehingga limestone (batu kapur) sebagai sumber CaO masih dibutuhkan sekitar 52 persen dari keseluruhan. Sedangkan pada semen biasa, limestone yg dibutuhkan mencapai 78 persen dari keseluruhan.

Proses selanjutnya adalah abu hasil pembakaran sampah (39 persen), limestone (52 persen), endapan air kotor (8 persen) dan bahan lainnya dimasukkan ke dalam rotary klin untuk kemudian dibakar. Untuk mencegah terbentuknya dioksin, pada proses pembakaran di rotary klin, dilakukan pada 1400 derajat celcius lebih dimana pada suhu tersebut dioksin terurai secara aman.


Gambar 2. Rotary klin (Sumber : www.ichiharaeco.co.jp)

Kemudian gas hasil pembakaran pada rotary klin didinginkan secara cepat untuk mencegah proses pembentukan dioksin ulang. Sehingga hasil gas buangan tidaklah berbahaya bagi manusia. Sedangkan pada hasil pembakaran yang masih mengandung senyawa logam dipisahkan, untuk kemudian dapat dipergunakan untuk kebutuhan lain.
Hasil akhir dari proses ini adalah ekosemen.

Pengaruh plastik vinil

Plastik vinil yang terdapat dalam sampah pada proses pembakaran akan mengakibat kekuatan konkrit ekosemen akan berkurang. Hal ini diakibatkan oleh adanya gas Cl2 hasil peruraian plastik vinil yang dapat mempengaruhi kekuatan konkrit ekosemen.

Kualitas ekosemen

Berdasarkan hasil pengujian JSA (Japan Standar Association) dinyatakan bahwa ekosemen mempunyai kualitas yang sama baiknya dengan semen biasa. Sehingga, hingga saat ini penggunaan ekosemen sudah digunakan dalam pembangunan jembatan, jalan, rumah, dan bangunan lainnya di Jepang.


Gambar 3. Struktur ekosemen (Sumber : www.ichiharaeco.co.jp)

Dengan adanya pengubahan sampah menjadi semen, menambah alternatif pengolahan sampah menjadi barang bermanfaat bagi manusia yang telah membuangnya. Selain itu dengan adanya alternatif pengolahan sampah menjadi semen, biaya pengolahan sampah di Jepang menjadi lebih murah. Bila sebelumnya 40.000 yen per ton (pengolahan sampah konvensional) menjadi 39.000 yen per ton (pengolahan sampah hingga menjadi semen).

Peluang di Indonesia

Indonesia belum bisa lepas dari masalah sampah. Mulai dari penolakan warga masyarakat sekitar TPA akibat kepulan asap dan bau yang ditimbulan pengolahan sampah saat ini hingga kejadian yang tidak pernah dilupakan, tragedi leuwih gajah yang merenggut 24 nyawa tak bersalah.

Sudah banyak upaya yang dilakukan, termasuk dengan mengubahnya menjadi sumber energi (metan) namun akibat kurangnya prospek dari segi ekonomi, akhirnya perkembangannya masih jalan ditempat.

Berhasilnya Jepang, mengolah sampah menjadi semen, tentu menjadi peluang sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia. Di Jakarta saja sampah yang dihasilkan oleh warganya mencapai 6000 ton lebih per hari. Selain itu secara prinsip, pembuatan ekosemen hampir sama dengan pembuatan semen biasa, sehingga jika bisa dilakukan kerja sama dengan pihak industri semen, maka akan jadi kerjasama yang menguntungkan baik pihak pemerintah maupun pihak industri. Dari pihak pemerintah penanganan sampah bisa sedikit teratasi dan dari pihak industri mampu mengurangi penggunaan limestone (26 persen).

Namun yang terpenting adalah kemauan pemerintah, khususnya pemerintah kota/daerah, untuk mengelola sampah dengan baik dan memulai untuk mencoba memisahkan sampah antara sampah organik, anorganik, botol dan kaleng menjadi kebudayaan bangsa Indonesia secara luas. Sehingga peluang pemanfaatan sampah menjadi semen atau produk yang lain bisa oleh pihak industri bisa lebih ekonomis.

Sumber (Dedy Eka Priyanto, Tokyo National College of Technology. Email: dedy_monbusho05@yahoo.co.jp)

Apa itu Sampah ?

::Pengertian Sampah

Sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktifitas manusia maupun alam yang belum memiliki nilai ekonomis.

:: Sumber-sumber sampah

1. Rumah Tangga
2. Pertanian
3. Perkantoran
4. Perusahaan
5. Rumah Sakit
6. Pasar dll.

::Secara garis besar, sampah dibedakan menjadi tiga jenis yaitu :

1. Sampah Anorganik/kering

Contoh : logam, besi, kaleng, plastik, karet, botol, dll yang tidak dapat mengalami pembususkan secara alami.

2. Sampah organik/basah
Contoh : Sampah dapur, sampah restoran, sisa sayuran, rempah-rempah atau sisa buah dll yang dapat mengalami pembusukan secara alami.

3. Sampah berbahaya
contoh : Baterei, botol racun nyamuk, jarum suntik bekas dll

:: Permasalahan Sampah::

Secara umum pembuangan sampah yang tidak memenuhi syarat kesehatan lingkungan akan dapat mengakibatkan :
1. Tempat berkembang dan sarang dari serangga dan tikus

2. Menjadi sumber polusi dan pencemaran tanah, air dan udara

3. Menjadi sumber dan tempat hidup kuman-kuman yang membahayakan kesehatan.

::Tata cara Pemusnahan sampah

Beberapa cara pemusnahan sampah yang dapat dilakukan secara sederhana sebagai berikut :

a. Penumpukan.
Dengan metode ini, sebenarnya sampah tidak dimusnahkan secara langsung, namun dibiarkan membusuk menjadi bahan organik. Metode penumpukan bersifat murah, sederhana, tetapi menimbulkan resiko karena berjnagkitnya penyakit menular, menyebabkan pencemaran, terutama bau, kotoran dan sumber penyakit dana badan-badan air.

b. Pengkomposan. Cara pengkomposan meerupakan cara sederhana dan dapat menghasilkan pupuk yang mempunyai nilai ekonomi.

c. Pembakaran. Metode ini dapat dilakuakn hanya untuk sampah yang dapat dibakar habis. Harus diusahakan jauh dari pemukiman untuk menhindari pencemarn asap, bau dan kebakaran.

d. "Sanitary Landfill". Metode ini hampir sama dengan pemupukan, tetapi cekungan yang telah penuh terisi sampah ditutupi tanah, namun cara ini memerlukan areal khusus yang sangat luas.

::Pemanfaatan Sampah::

1. Sampah basah : Kompos dan makanan ternak
2. Sampah kering : Dipakai kembali dan daur ulang
3. Sampah kertas : Daur Ulang

::Daur ulang
Daur ulang adalah salah satu strategi pengelolaan sampah padat yang terdiri atas kegiatan pemilahan, pengumpulan , pemrosesan, pendistribusian dan pembuatan produk/material bekas pakai.

    1. Material yang dapat didaur ulang :
      1. Botol Bekas wadah kecap, saos, sirup, creamer dll baik yang putih bening maupun yang berwarna terutama gelas atau kaca yang tebal.
      2. Kertas, terutama kertas bekas di kantor, koran, majalah, kardus kecualai kertas yang berlapis minyak.
      3. Aluminium bekas wadah minuman ringan, bekas kemasan kue dll.
      4. Besi bekas rangka meja, besi rangka beton dll
      5. Plastik bekas wadah shampoo, air mineral, jerigen, ember dll
      6. Sampah basah dapat diolah menjadi kompos.

      Manfaat pengelolaan sampah
      1. Mengehemat sumber daya alam
      2. Mengehemat Energi
      3. Menguranagi uang belanja
      4. Menghemat lahan TPA
      5. Lingkungan asri (bersih,sehat,nyaman)

Rabu, 12 Maret 2008

Kemiskinan di Bandung Naik 10%

Angka kemiskinan baru di Kota Bandung bertambah sekitar 10% per tahun. Hal itu berpengaruh terhadap program penjaminan kesehatan karena jumlah warga miskin yang membengkak. Terkait hal itu, Pemkot Kota Bandung mengalokasikan dana Rp 15 miliar untuk jaminan kesehatan masyarakat miskin yang tidak terlayani program Jaminan Kesehatan Masyarakat/Jamkesmas (sebelumnya Askeskin-red.).

Dana tersebut dianggarkan dalam pos belanja hibah APBD 2008 dan persetujuan penggunaannya sedang dibahas Pansus III DPRD Kota Bandung.

Jumlah masyarakat miskin yang terdata berdasarkan SK Wali Kota Bandung No. 709 Tahun 2007 tentang Penetapan Masyarakat Miskin sebanyak 346.230 jiwa. "Berdasarkan angka kemiskinan baru mencapai 10% per tahun, diperkirakan jumlah masyarakat miskin bertambah. Untuk mereka yang tidak terdata di SK wali kota, bisa menggunakan surat keterangan miskin (SKM) yang dikeluarkan aparat kewilayahan setempat," ujar Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan pada Dinas Kesehatan Kota Bandung, dr. Susatyo Tri wilopo, ketika dihubungi via telefon, Sabtu (8/3).

Dia berharap, pengurus RT/RW jeli melihat kondisi warganya yang benar-benar miskin. Selain itu, SKM bisa digunakan oleh masyarakat yang terdata dalam SK Wali Kota No. 709 Tahun 2007, namun belum memiliki kartu Jamkesmas/Askeskin yang dikeluarkan PT Askes. Sementara itu, surat keterangan tidak mampu (SKTM) hanya dikeluarkan jika warga tersebut sudah menjalani pengobatan dan di tengah rangkaian pengobatan mengalami kesulitan dana.

"Misalnya, untuk operasi butuh Rp 7 juta dan pasien hanya punya Rp 5 juta. Maka, bisa membuat SKTM. Ini untuk mengantisipasi jangan sampai terjadi masyarakat yang pura-pura miskin seperti terjadi tahun lalu," kata Susatyo.

Kendala

Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung dr. Gunadi Sukma Bhinekas menjelaskan, jenis pelayanan yang dilayani meliputi Rawat Inap Tindak Lanjut (RITL) di ruang perawatan biasa kelas III, RITL di ruang perawatan khusus (ICU, NICU, dll.), persalinan risiko tinggi, penunjang diagnostik, tindakan medis, tindakan medis operatif, hemodialisa, pelayanan darah, dan pelayanan lain yang sesuai dengan program Jankesmas/Askeskin.

Menurut Gunadi, ada beberapa kendala yang ditemui, yaitu banyak masyarakat miskin yang tidak memiliki identitas kependudukan. Terkait hal itu, dinkes meminta instansi terkait membebaskan biaya pembuatan identitas kependudukan. "Masyarakat miskin masih banyak yang tidak mengetahui prosedur pelayanan, baik secara administrasi maupun medis," ucapnya.

Masyarakat miskin disarankan menjalani prosedur pengobatan yang diawali di puskesmas. Selama ini, lanjut Gunadi, banyak masyarakat miskin yang tidak datang ke puskesmas lebih dulu. "Mereka langsung ke rumah sakit. Akibatnya rumah sakit seperti RSHS seperti puskesmas raksasa karena dipadati pasien yang mestinya masih bisa ditangani puskesmas," katanya.

Tahun 2007, APBD Kota Bandung mengalokasikan dana buffer stock bagi masyarakat miskin Rp 5,9 miliar. Akan tetapi, dana tersebut hanya terserap Rp 756 juta. Menurut Gunadi, Hal itu disebabkan minimnya sosialisasi karena waktu yang sempit.

(Sumber PR on line)