Rabu, 12 Maret 2008

Berteman dengan Sampah Kota

LEUVEN adalah kota kecil di Belgia. Kota yang luasnya 56,63 kilometer persegi itu dihuni 89.910 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 1,587 jiwa per km persegi.

Sekalipun penduduknya sedikit, namun kota ini selalu ramai dengan berbagai aktivitas. Itu karena Leuven merupakan kota pendidikan dengan adanya Katholieke Universiteit Leuven (KUL), salah satu perguruan tinggi tua di dunia.

Leuven seperti juga kota-kota lainnya di Eropa, selalu mengutamakan kebersihan dan keindahan kota. Seramai apapun kegiatan yang sedang berlangsung di kota itu, tidak tampak sampah berceceran. Tong-tong sampah mudah ditemukan di pinggir-pinggir jalan dan semua orang punya kepedulian yang tinggi untuk tidak membuang sampah sembarangan.

Sebagai kota pendidikan, banyak mahasiswa asing yang bersekolah di KUL. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia dengan membawa serta budaya dan kebiasaannya, termasuk pula dalam memperlakukan sampah. Tentu tidak mudah mengubah kebiasaan warga pendatang dalam memperlakukan sampah. Mahasiswa Indonesia, misalnya, harus "belajar" dahulu bagaimana memperlakukan sampah yang mereka hasilkan agar sesuai dengan kebiasaan penanganan sampah di Leuven.

Penanganan sampah kota di kota Leuven dan juga kota-kota lainnya di Eropa dilakukan secara terpadu dengan menggunakan prinsip community development. Warga kota sejak awal dilibatkan secara aktif dalam memilah dan memilih sampah. Proses pengolahan diserahkan kepada swasta dengan dukungan penuh dari pemerintah kota.

Peran serta warga kota dimulai dari dalam rumah. Warga kota, orang tua, anak-anak, laki-laki-perempuan, kaya-miskin, semua memiliki kewajiban yang sama dalam memperlakukan sampah.

Sampah yang dihasilkan warga kota dibagi dalam tiga kategori yaitu sampah yang bisa dikomposkan, sampah yang tidak bisa dikomposkan, dan sampah daur ulang dengan proses khusus. Kategorisasi lain, sampah dibagi dalam sampah basah yang bisa dikomposkan dan sampah kering yang tidak bisa dikomposkan.

Pemerintah kota menyediakan kantung plastik sampah hasil daur ulang untuk jenis sampah yang berbeda. Kantung plastik berukuran kira-kira 100 x 60 cm itu, dijual bebas di supermarket, sehingga masyarakat mudah mendapatkannya.

Ada tiga jenis kantung plastik sampah yang dijual. Kantung plastik warna hijau untuk sampah organik sisa dapur, seperti sisa sayuran, kulit buah, cangkang telur, sisa nasi, dll. Kantung plastik warna biru untuk sampah kering jenis kertas, dus bekas susu, kaleng, dan botol plastik. Kalau malas memilah kedua jenis sampah itu, pemerintah menyediakan kantung plastik warna cokelat. Namun, sebagai kompensasinya, harga kantung plastik cokelat dua kali lipat dari harga kantung plastik biru dan hijau.

Jenis sampah lain yang perlu didaur ulang, seperti botol kaca, pakaian bekas, peralatan elektronik tua atau rusak, batu baterai, dan sofa-sofa butut, juga ditangani swasta. Untuk botol kaca bekas pakai atau gelas/piring yang rusak disediakan kontainer khusus dari metal (bentuknya mirip blek kerupuk raksasa) yang disimpan di tempat-tempat tertentu. Masyarakat tinggal membawa botol atau gelas-gelas tersebut ke tempat khusus (biasanya di pinggir jalan) dan memasukkannya ke dalam kontainer tersebut. Sedangkan untuk membuang sofa dan peralatan elektronik, warga harus daftar dan membayar biaya "buang sampah" di instansi khusus yang menangani masalah tersebut.

Para pedagang di pasar Jumat (pasar tradisional yang ada setiap hari Jumat) juga wajib "membereskan" sampahnya sendiri dengan memasukkannya ke dalam kantung-kantung plastik khusus, sesuai jenisnya. Alhasil, begitu pasar bubar pada tengah hari, tak ada ceceran sampah yang tertinggal, karena petugas kebersihan langsung mengangkut kantung sampah tersebut.

Sampah-sampah yang sudah terpilah diangkut pada hari-hari tertentu. Biasanya, untuk sampah rumah tangga, kendaraan pengangkut sampah (dump truck) datang pagi-pagi. Tak ada ceceran air lindi yang keluar dari kantung plastik itu dan, tentu saja, baunya pun tidak begitu menyengat sehingga pejalan kaki tak terlalu terganggu dengan aktivitas pengangkutan sampah tersebut.

Di negara maju, masyarakat harus bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkannya. Memang tidak ada biaya iuran sampah setiap bulan seperti di Indonesia. Retribusi dibebankan pada pembelian kantung plastik sampah. Jika mereka terlalu banyak menghasilkan sampah, tentunya mereka akan semakin sering membeli kantung plastik sampah. Cara ini cukup adil karena biaya dikeluarkan sesuai pemakaian dan tidak pukul rata seperti di Indonesia.

Warga kota juga menjadi lebih rasional dalam membeli barang atau makanan. Jika membeli sepatu baru di toko sepatu, adakalanya pembeli meninggalkan sepatu lamanya di toko itu. Selain itu, barang-barang tua yang masih bisa dimanfaatkan seperti baju, mantel, jaket bekas atau peralatan rumah tangga yang bekas pakai atau sudah out of date, dijual di toko-toko khusus.

Dengan sistem penanganan sampah terpadu seperti itu, Leuven menjadi kota bebas sampah. Sepanjang tahun, kota itu selalu dihiasi aneka macam bunga. Itu semua berkat kompos yang dihasilkan dari proses pengolahan sampah kota. Dinas pertamanan dan warga kota memanfaatkan kompos hasil pengolahan sampah kota untuk menyuburkan tanah dan menumbuhkan aneka macam tanaman.

Pengelolaan sampah kota terpadu ini juga memunculkan kreativitas lain. Selain memacu industri pertanian (dengan dihasilkannya aneka jenis bunga sesuai musimnya), dari daur ulang kertas dan dus dihasilkan berbagai macam kertas pembungkus kado dengan desain yang indah.

Bagi warga kota Leuven, sampah tidak lagi menjadi musuh yang menakutkan dan menjadi sumber penyakit, tetapi menjadi teman yang bermanfaat. Keberhasilan kota ini menjadi kota yang bersih dan indah, tidak terlepas dari peran serta aktif masyarakat dalam menangani sampah.

Sikap positif warga Leuven dalam memperlakukan sampah kota, bukanlah soal budaya atau kultur, tetapi lebih pada soal kebiasaan atau pembiasaan. Warga Bandung pun bisa mengubah kebiasaan buruknya dalam memperlakukan sampah. Paling tidak, mulai membiasakan untuk memilah sampah basah dan sampah kering.

Satu hal yang paling penting adalah kesadaran warga kota bahwa sampah bukan hanya persoalan wali kota atau dinas/perusahaan daerah kebersihan. Dalam kondisi darurat seperti sekarang ini, warga kota sebaiknya bahu membahu menangani sampah dan tidak melulu menyalahkan pemerintah kota. (Sumber : Ida Farida/"PR")***

Tidak ada komentar: