Sabtu, 15 Maret 2008

Menyulap Sampah Jadi Rupiah

Bayangkanlah satu masa nan indah. Saat Jakarta (dan kota-kota besar lainnya) tak lagi butuh truk pengangkut sampah dan tempat khusus untuk menimbun limbah. Maklum, semua sampah habis disulap jadi rupiah, hasil berdagang pupuk, kertas, plastik, serta batako daur ulang. Ekonomi rakyat terangkat, bau tak sedap pun lenyap. Alangkah indahnya ....

Sah-sah saja menyebut bayangan tadi sebagai angan-angan. La iya, mana mungkin sampah Jakarta bisa dibikin nihil, wong baunya ada di mana-mana kok. Tapi, buat para peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), impian tadi bukannya tak mungkin menjadi kenyataan. "Boleh dong, kita punya gambaran masa depan yang lebih menyenangkan," ujar Ir. Bambang Heruhadi dari Direktorat Teknologi Lingkungan, Teknologi Pengelolaan Sampah dan Limbah Padat BPPT.

Bambang dan konco-konconya memang sedang bangga-bangganya pada pilot project mereka yang diberi nama sandi "Zero Waste Skala Kawasan" (ZWSK). Karena kalau sukses, mereka berpeluang membebaskan Jakarta dan kota-kota besar lainnya dari belenggu limbah. Konsepnya sudah dipraktikkan sejak awal tahun 2001 di daerah Rawasari, Jakarta Pusat. "Dan berjalan sangat baik, hingga banyak pemda kota yang melirik," ujar Bambang bernada girang.

Pembuang sampah produktif

Omong-omong, seberapa genting sih soal sampah ini, sampai-sampai BPPT bersusah payah bikin konsep zero waste alias nihil sampah? Apalagi selain BPPT, sebuah perusahaan nasional, PT Biotama Recovery Indonesia (BRI) juga mencanangkan pembuatan pabrik pengolahan pupuk dari sampah organik senilai Rp 100 miliar, Juli 2001 ini. Melihat besaran investasinya, pengolahan sampah satu ini pasti versi konglomerat.

Kabarnya, pabrik yang berlokasi di Sunter, Jakarta Utara, itu rencananya bakal mengolah ribuan ton sampah organik Jakarta per hari. Cuma, beda dengan BPPT yang menyelipkan misi kerakyatan, BRI murni mengusung motif bisnis. "Kami mengincar pasar ekspor. Kalau dilihat, pasar pupuk organik dunia mengalami pertumbuhan antara 10 - 20% per tahun," tegas Ir. I.M. Eddy Sutrisno, Presdir BRI, saat berpresentasi di sebuah seminar pengolahan sampah, April 2001 lalu.

Menanggapi rencana BRI, Bambang Heruhadi cuma tersenyum. Sambil tetap senyum, dia menyodorkan data statistik yang barangkali cukup membuat kening Anda berkerut, namun langsung memahami mengapa soal sampah ini jadi begitu menarik. Data itu menunjukkan betapa produktifnya warga kota besar di Indonesia dalam memproduksi limbah. Rata-rata per orang mencapai 2,5 - 3 l per hari.

Paling ribet, tentu saja Jakarta, yang jumlah penduduknya selangit. Versi Kepala Sub-Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Ir. Chaerul Mukti, total sampah yang disumbang penduduk DKI Jakarta rata-rata 26.000-an m3 atau sekitar 6.500-an ton per hari. Dari jumlah itu, "Yang terangkut sarana transportasi hanya sekitar 21.000-an m3 atau 80% saja," tutur Chaerul. Sisanya, dikanibal masyarakat tempat sampah berasal.

Sedangkan menurut jenisnya, barang buangan itu bisa diklasifikasi atas sampah organik (basah, sekitar 65%), semisal dedaunan. Selebihnya, sampah non-organik (kering, sekitar 35%), yang terdiri atas plastik, kaca, kayu. Tak tanggung-tanggung, untuk mengurusi barang terbuang ini, Pemda DKI rela merogoh kocek hingga Rp 100 miliar per tahun, sementara pemasukannya nol besar. Makin banyak sampahnya, tentu saja, makin besar pasak dari tiang. Lama-lama, ya, bikin pusing juga.

Ini bisa terjadi karena pemda belum serius memikirkan sistem penanganan sampah terpadu, terutama yang bermuara pada proses daur ulang. Selama ini, olah sampah versi pemda berhenti pada proses penampungan di tempat pembuangan sementara (TPS), kemudian menimbunnya di tempat pembuangan akhir (TPA). Padahal, lahan TPA di ibukota makin lama kian langka. TPA terbesar saat ini, di Bantar Gebang, Jakarta Timur, terasa makin sempit dengan bertambahnya volume limbah. Belum lagi protes penduduk sekitar yang merasa dicemari bau tak sedap.

Dari warga, untuk warga

Nah, kata Bambang Heruhadi, kalau konsep kuno seperti ini terus dipertahankan, di masa depan, Indonesia bakal diterpa banyak masalah. Pasalnya, penambahan sarana dan prasarana pengelolaan limbah tidak secepat pertambahan timbunan sampah yang harus ditangani.

Tahun 1986 misalnya, sampah Jakarta "masih" 18.000 m3 per hari. Namun, seiring pertambahan penduduk, jumlahnya melonjak jadi 21.000 m3 per hari pada 1996. Saat ini, kabarnya sudah mentok 23.000 m3 per hari. Sebuah penambahan yang sangat signifikan. "Selain kesulitan mencari lahan murah, potensi pencemaran lingkungan mulai membahayakan. Polusi baunya itu, lo," terang Bambang.

Untuk menebas hambatan-hambatan itulah, proyek percontohan zero waste diluncurkan. Paling terasa manfaatnya di sektor angkutan. Beda dengan cara konvensional yang harus memakai truk untuk membawa sampah ke TPA, ZWSK justru memfokuskan kegiatannya di lingkungan tempat kotoran dihasilkan. Istilah beken-nya, "Dari warga, untuk warga." Itu sebabnya, nama programnya diembel-embeli skala lingkungan.

Alhasil, biaya transportasi terpangkas hingga 0%. Lumayan 'kan, bisa menghemat ratusan juta rupiah, baik untuk pembelian truk maupun maintenance-nya. Sebagai gantinya, limbah dibawa langsung ke lokasi ZWSK oleh para "kolektor", pakai gerobak. "Agar aman buat lingkungan, kotoran memang harus ditangani langsung di lokasi terdekat dengan sumbernya," tegas Bambang, yang pernah menimba ilmu di Jepang.

Jadi, sampah produksi Pondok Indah (PI) misalnya, mesti didaur ulang di PI juga, bukan di Kebayoran Lama atau Cengkareng. Kalau skenario ini berjalan lancar, tentu saja pemda bisa mengucap good bye pada TPA. "Sedangkan TPS bisa dimanfaatkan sebagai calon lokasi ZWSK," imbuh Ir. Sri Bebassari, M.Si., juga peneliti BPPT.

Memperalat cacing

Selain irit ongkos mondar-mandir, cara ini juga memungkinkan berlangsungnya proses daur ulang terpadu alias satu atap. Kerjanya mirip samsat, karena beragam proses, seperti mengubah sampah organik jadi pupuk kompos maupun mendayagunakan kembali kertas dan plastik bekas, bisa dilakukan di tempat yang sama secara berbarengan.

Seperti bisa dilihat dalam pilot project Rawasari, sampah yang dikumpulkan dari warga langsung dipilah-pilah berdasarkan bahan. Ada pos untuk menampung sampah organik, (terbanyak, bisa lebih dari 60%), kertas, plastik, logam, botol. Tahap ini disebut fase praproses atau persiapan.

Kemudian dilanjutkan dengan fase pengolahan. Sampah organik diolah jadi pupuk (kompos) dengan memanfaatkan "reaktor cacing". Binatang kecil ini memang dikenal sebagai penyantap sampah yang rakus, "Lewat proses vermikasi, cacing diperalat untuk menghasilkan kompos," ujar Bambang.

Pada saat bersamaan, dilakukan pengolahan bahan-bahan lainnya menjadi produk daur ulang. Sampah yang tak bisa diolah kembali, seperti botol dan kaca, dikumpulkan untuk diolah sesuai keperluan. Sementara sisa limbah (yang tak mungkin lagi dijadikan komoditas dagang) bakal diberangus di fase terakhir, yakni pembakaran tuntas, tas, tasss ....

Dari hasil penelitian BPPT, setiap 10 m3 (2 ton) sampah berpotensi menghasilkan pupuk kompos atau vermikompos sekitar 0,4 ton per hari atau sekitar 12 ton per bulan. Berikut bahan daur ulang sekitar 0,28 ton/hari atau 84 ton per bulan, yang terdiri atas kertas daur ulang, bijih plastik, logam, dan bahan konstruksi (bata, batako). Ada juga abu sampah sisa pembakaran, biasanya untuk campuran kompos.

Kalau mau menghasilkan out put lebih besar, kapasitas pengolahan harus ditingkatkan, sekaligus butuh lahan lebih besar. Berdasarkan perhitungan, lahan seluas 400 m2 dapat memproses 10 hingga 20 m3 sampah per hari. Dengan beragam efisiensi, sebenarnya kapasitas bisa saja melampaui 20 m3. "Ini tantangan buat kita," tegas Bambang.

Tak perlu teknologi canggih

Yang menarik, aktivitas mengenolkan limbah ini tidak memerlukan teknologi canggih. BPPT sengaja memasyarakatkan alat-alat sederhana agar mudah dioperasikan awam. Untuk mengubah sampah organik menjadi kompos, misalnya, hanya diperlukan alat pencacah untuk memperkecil ukuran sampah, sejenis blender besar untuk mengolah sampah tertentu jadi makanan cacing, serta rak untuk proses vermikasi dan menyimpan sampah yang telah dikemas.

Sedangkan untuk mendaur ulang kertas, plastik, dan bahan-bahan daur ulang lainnya, ada blender yang bertugas melumat sampah-sampah tadi jadi bubur. Baru kemudian "dicetak" menjadi kertas, bijih plastik, serta bahan konstruksi daur ulang. Oh ya, ada juga fasilitas pembakaran sisa-sisa sampah tak terolah. Prinsipnya, biar sederhana, yang penting lengkap.

Menilik sistem kerja "samsat sampah" BPPT, maunya jelas, tak secuil pun limbah dibiarkan tersisa. Maunya juga kelak, di tempat pembuangan akhir maupun dalam skala lebih rendah, tak dikenal istilah penimbunan sampah. Karena begitu masuk penampungan, barang buangan langsung disulap jadi benda layak jual. Asyik, 'kan?

Catatan dari proyek percontohan ZWSK di Rawasari (luasnya 400 m2) menunjukkan, sampah yang berhasil diolah mencapai 20 m3 per hari. Setelah direka-reka, jumlah itu ternyata sama dengan sumbangan sampah 1.000 - 2.000 kepala keluarga (tergantung tingkat kepadatan penduduknya), atau setara dengan 2 - 5 komunitas Rukun Warga (RW).

Kalau dilakukan secara kontinyu, proyek ini berpotensi mengurangi timbunan sampah di TPA hingga 7.200 m3 per tahun. Otomatis, risiko penyebaran bau tak sedap makin berkurang. Udara Jakarta makin segar, karena dunia persampahan tak lagi menjijikkan. Sekali lagi, boleh 'kan berangan-angan? (Muhammad Sulhi)

Tidak ada komentar: